Bumen Citra Asy-syakiriin

Kasih Sayang Untuk Penderita Skizofrenia

KOMPAS.com — Setelah 10 tahun, Bagus Utomo (37) baru menyadari bahwa kakaknya, Bayu, menderita skizofrenia atau gangguan jiwa berat. Mengapa begitu lama? Tahun 1995, Bayu mulai memperlihatkan perilaku aneh. Bayu yang ketika itu berusia 30 tahun kerap mengamuk hebat. ”Kami membawanya berobat dan dokter (jiwa) hanya memberikan obat tanpa pernah menjelaskan penyakit yang diderita kakak saya,” ujar Bagus.

Setelah minum obat, keadaan Bayu membaik. Namun, kapan saja, perilaku anehnya bisa kambuh. Dia tidak lagi hanya mengamuk, tetapi juga memaki ayahnya, memusuhi semua orang, dan berteriak histeris sepanjang malam. Perilaku itu berulang selama 10 tahun. ”Selama itu pula kami tidak bisa tidur dan selalu tegang. Keluarga kami bagai dalam neraka,” cerita Bagus, Kamis (26/8/2010).

Ketika keluarga mulai putus asa, Bagus mencari setiap informasi mengenai perilaku aneh seperti yang ditunjukkan kakaknya. Tahun 1998, dia menemukan sebuah situs di internet mengenai skizofrenia. Dari situ, Bagus tahu kakaknya memenuhi ciri-ciri skizofrenia, yakni mengalami halusinasi, waham, dan berperilaku aneh.

Tunggal (36) bahkan baru menyadari kalau kakaknya, Dwi Putro, biasa disapa Pak Wi, menderita skizofrenia setelah 17 tahun. ”Kami hanya tahu Pak Wi dulu suka mengamuk dan keluyuran berhari-hari. Itu terjadi beberapa kali sejak tahun 1983. Kami baru tahu Pak Wi mengalami skizofrenia tahun 2000-an,” tutur Tunggal.

Karena tidak tahu, lanjut Tunggal, kedua orangtuanya salah memperlakukan Dwi. ”Orangtua saya melarang Pak Wi pergi dan mandi sambil menghambur-hamburkan air. Akibatnya, Pak Wi makin tertekan.”

Sari (36) juga ingat bagaimana keluarga besarnya kebingungan menangani Wibi (54), sepupunya, ketika sering mengamuk sejak usia 21 tahun. ”Keluarga mengira Wibi kena santet, makanya dia kami bawa ke pesantren atau orang pintar. Karena tidak ada hasilnya, baru kami bawa ke dokter. Dari situ, kami baru tahu kalau Wibi mengidap skizofrenia,” ujar Sari.

Carla R Marchira, psikater di Fakultas Kedokteran UGM dan RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta, mengatakan, pemahaman soal skizofrenia di kalangan masyarakat relatif rendah. ”Kalau ada orang yang tiba-tiba berperilaku aneh, pasti disangka kena santet. Padahal, boleh jadi itu gejala gangguan jiwa,” katanya.

Selain itu, keluarga umumnya menyangkal jika salah satu anggotanya mengalami gangguan jiwa karena takut kena stigma. Akibatnya, penderita terlambat ditangani dokter. Padahal, lanjut Carla, semakin cepat ditangani, semakin besar kemungkinan penderita bisa pulih.

Menurut standar Indonesia, orang dianggap menderita skizofrenia jika selama satu bulan mengalami gejala psikotik, seperti berhalusinasi dan mengalami waham. Halusinasi adalah kekacauan persepsi pancaindera penderita. Akibatnya, telinga penderita, misalnya, mendengar bisikan-bisikan aneh yang sebenarnya tidak ada. Waham adalah kondisi ketika pikiran penderita tidak realistis. Dia, misalnya, merasa dikejar-kejar pocong atau CIA.

”Kita harus paham bahwa halusinasi dan waham itu berat. Bayangkan kalau setiap saat Anda merasa dikejar-kejar pocong, pasti Anda teriak-teriak ketakutan,” katanya.

Untuk mengatasi gejala psikotik itu, dokter biasanya memberikan obat antipsikotik. Pengobatan berlangsung lama, bahkan sebagian penderita harus minum obat sepanjang hidupnya.

Menata keluarga Sejak mengetahui kakaknya menderita skizofrenia, Bagus tahu bagaimana menangani kakaknya. Bagus dan keluarganya meneruskan pengobatan Bayu. ”Alhamdulillah, kondisinya sekarang sudah pulih 90 persen. Dia sudah sadar apa yang terjadi pada dirinya dan rajin minum obat,” katanya.

Seiring dengan itu, lanjut Bagus, situasi tegang di keluarganya segera mencair. ”Kami sekeluarga bisa menata kembali hidup kami. Itu penting sebab selama 10 tahun kami tegang terus,” kata anak keenam dari delapan bersaudara ini.

Hal yang sama dilakukan Tunggal. Dia berusaha memperlihatkan kasih sayang dan perhatiannya kepada Pak Wi. ”Tahun 2007, kami sadar Pak Wi suka melukis karena dia suka mencoret-coret tembok tetangga. Kami pun menyediakan alat lukis, seperti kertas, kanvas, papan, spidol, dan cat minyak.”

Pak Wi pun tenggelam dalam keasyikan melukis. Dia bisa menggambar terus-menerus dari pagi sampai malam. Tidak heran, dalam setahun, dia bisa menghasilkan 1.000-an lukisan. ”Kalau dia melukis, saya selalu mengacungkan jempol dan berkata, ’bagus’,” kata Tunggal.

Sejak melukis, Pak Wi tidak pernah mengamuk atau keluyuran lagi. ”Saya senang melihat perkembangannya,” ujar Tunggal.

Clara berpendapat, keluarga memang sebaiknya memberikan aktivitas yang disenangi penderita skizofrenia. Dengan begitu, emosi penderita bisa tercurahkan pada kegiatan tersebut. Secara logis, kegiatan itu juga bisa mengalihkan halusinasi dan waham yang sering menyerang penderita skizofrenia.

Jangan biarkan mereka sendirian, mengurung, bahkan merantai mereka. Itu membuat penderita tertekan dan stres,” katanya.

Kompas/Budi Suwarna


Ditulis dalam Mental Health

Skizofrenia, Ibarat Merawat Porselen Retak

SIAPA menduga, Wicaksono (46) dan adiknya, Radit, yang dua tahun lebih muda, dapat menderita skizofrenia? Dari luar, orang melihat, mereka seharusnya menjalani hidup lebih mulus daripada orang lain yang pendidikannya lebih rendah dan serba kekurangan.

Dalam masalah gangguan kejiwaan, semua itu tak bisa diandaikan. Seperti dikatakan Dyah (66), adik almarhumah Ratna, ibu dari Wicaksono dan Radit, Ratna sangat menyayangi anak-anaknya, khususnya setelah sang suami meninggal saat anak-anak masih balita. Namun, menurut Dyah, rasa sayang itu tampaknya lebih didasari rasa takut kehilangan. Sampai anak-anak itu dewasa, mereka tak pernah bebas menentukan sikap.

Ketika lulus kuliah, Wicaksono yang berotak cemerlang mendapat pekerjaan bagus di luar Pulau Jawa, tetapi Ratna melarangnya berangkat. Kejadian itu terjadi berulang kali. Ketika Wicaksono akhirnya mencari pekerjaan di Jakarta dan menumpang di rumah pamannya, ia diperlakukan buruk oleh istri pamannya.

Secara perlahan Wicaksono mulai berubah, dari yang semula suka bergaul, ia mulai banyak melamun dan lebih banyak diam di kamar. Keluarganya menganggap ia hanya malas. Lalu, ia mulai suka omong sendiri.

Ketika bercerita, ia punya sahabat perempuan yang sudah meninggal dan sering mengunjunginya, keluarga besarnya, yang sangat percaya dengan dunia gaib, tak menganggap ada hal serius.

Keluarga bahkan menganggap ia disantet ketika Wicaksono mulai meludah dan buang air kecil sembarangan.

Ia juga suka membawa pisau ke mana-mana karena katanya ada orang yang hendak membunuh ibu dan adiknya. Untuk menenangkannya, ia dibawa ke pesantren besar di Jawa Barat.

Upaya medis

Karena tak ada perubahan, Wicaksono lalu dibawa ke rumah sakit jiwa di Jakarta dan Bandung, sebelum ke Lawang, Jawa Timur. Ternyata, di Lawang pun ia kabur dan berjalan kaki tiga bulan untuk pulang ke Bogor. Dokter ahli kejiwaan menyatakan, Wicaksono menderita skizofrenia.

Beban keluarga bertambah berat ketika Radit mulai berperilaku seperti kakaknya. Ia langsung dibawa ke klinik rumah sakit jiwa. ”Kata dokter, gangguan kejiwaannya tak separah kakaknya. Bisa sembuh asal diberi banyak kegiatan dan rajin minum obat,” ujar Dyah.

Di situ soalnya. Keluarga itu sudah tak mampu membeli obat. Sang ibu sudah pensiun dan mulai sakit-sakitan. Bantuan keluarga besar tidak ajek. Akibatnya, Wicaksono dan Radit sering tak minum obat beberapa minggu.

Setelah Ratna meninggal, keduanya dirawat oleh pekerja rumah tangga yang sudah puluhan tahun bekerja di rumah itu. Untuk keperluan makan dan obat, keluarga besarnya urunan setiap bulan. Radit kemudian meninggal karena diare.

Gejala awal yang sama terjadi pada Laras (32), anak kedelapan dari 11 bersaudara. ”Ibu mendidik kami dengan sangat keras,” ujar Fardli, kakak Laras, yang mengingat, sang ibu pernah membenamkan kepalanya ke bak mandi ketika Fardli berkelahi dengan kakaknya. ”Kami bertahan, tetapi Laras tidak.”

Fardli ingat, Laras yang berotak cemerlang itu tak pernah punya teman. Hubungan antaranggota keluarga tidak dekat sehingga Laras tak pernah akrab dengan siapa pun, di luar maupun di dalam rumah.

Gangguan kejiwaan berupa waham mulai tampak ketika ia kuliah. Ketika kerja praktik di, ia mengatakan, pemilik perusahaan adalah orangtua kandungnya. Ia sempat bekerja dan mendapat gaji sangat baik sebelum gangguan waham itu semakin serius. Ia bahkan merasa dirinya adalah cucu Presiden Soeharto dan istri aktor Ari Wibowo.

Karena semakin menjadi, keluarga sepakat memasukkan Laras ke rumah sakit jiwa. Setelah itu ia terus keluar-masuk rumah sakit jiwa. Kalau kambuh, ia tak mau minum obat dan sering kabur. Kalau tidak kambuh, Laras bersikap layaknya orang ”normal”. Hanya cara bicaranya seperti anak-anak.

Supaya lebih terkendali, Fardli tak melarang Laras menginap di rumahnya pada akhir pekan asal pamit pada ibunya. Ia minta agar Laras rajin minum obat dan juga mendorong adiknya menjalani terapi menulis.

Seluruh upaya terus ia lakukan meski Fardli paham adiknya tak akan pernah sepenuhnya pulih. Ia tahu, gangguan kejiwaan berat ibarat porselen retak. Tambalannya harus terus dijaga.

Penulis  : Maria Hartiningsih dan Lusiana Indriasari


Ditulis dalam Mental Health

Beberapa Jenis Penyakit Jiwa

Stress

Stres adalah suatu kondisi atau keadaan tubuh yang terganggu karena tekanan psikologis. Biasanya stres dikaitkan bukan karena penyakit fisik tetapi lebih mengenai kejiwaan. Akan tetapi karena pengaruh stres tersebut maka penyakit fisik bisa muncul akibat lemahnya dan rendahnya daya tahan tubuh pada saat tersebut.

Banyak hal yang bisa memicu stres muncul seperti rasa khawatir, perasaan kesal, kecapekan, frustasi, perasaan tertekan, kesedihan, pekerjaan yang berlebihan, Pre Menstrual Syndrome (PMS), terlalu fokus pada suatu hal, perasaan bingung, berduka cita dan juga rasa takut. Biasanya hal ini dapat diatasi dengan mengadakan konsultasi kepada psikiater atau beristirahat total.

Neurosis

Neurosis, sering disebut juga psikoneurosis, adalah istilah umum yang merujuk pada ketidakseimbangan mental yang menyebabkan stress, tapi tidak seperti psikosis atau kelainan kepribadian, neurosis tidak mempengaruhi pemikiran rasional. Konsep neurosis berhubungan dengan bidang psikoanalisis, suatu aliran pemikiran dalam psikologi atau psikiatri

Psikosis

Psikosis merupakan gangguan tilikan pribadi yang menyebabkan ketidakmampuan seseorang menilai realita dengan fantasi dirinya. Hasilnya, terdapat realita baru versi orang psikosis tersebut. Psikosis adalah suatu kumpulan gejala atau sindrom yang berhubungan gangguan psikiatri lainnya, tetapi gejala tersebut bukan merupakan gejala spesifik penyakit tersebut, seperti yang tercantum dalam kriteria diagnostik DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) maupun ICD-10 (The International Statistical Classification of Diseases) atau menggunakan kriteria diagnostik PPDGJ- III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa). Arti psikosis sebenarnya masih bersifat sempit dan bias yang berarti waham dan halusinasi, selain itu juga ditemukan gejala lain termasuk di antaranya pembicaraan dan tingkah laku yang kacau, dan gangguan daya nilai realitas yang berat. Oleh karena itu psikosis dapat pula diartikan sebagai suatu kumpulan gejala/terdapatnya gangguan fungsi mental, respon perasaan, daya nilai realitas, komunikasi dan hubungan antara individu dengan lingkungannya.

Syndrom

Sindrom, dalam ilmu kedokteran dan psikologi, adalah kumpulan dari beberapa ciri-ciri klinis, tanda-tanda, simtoma, fenomena, atau karakter yang sering muncul bersamaan. Kumpulan ini dapat meyakinkan dokter dalam menegakkan diagnosa.

Istilah sindrom dapat digunakan hanya untuk menggambarkan berbagai karakter dan gejala, bukan diagnosa. Namun terkadang, beberapa sindrom dijadikan nama penyakit, seperti Sindrom Down.

Kata sindrom berasal dari bahasa Yunani yang berarti “berlari bersama”, seperti yang terjadi pada kumpulan tanda tersebut. Istilah ini sering digunakan untuk merujuk kumpulan tanda klinik yang masih belum diketahui penyebab. Banyak sindrom yang dinamakan sesuai dengan dokter yang dianggap menemukan tanda-tanda itu pertama kali. Selain itu dapat juga diambil dari nama lokasi, sejarah, dan lainnya.
Sindrom dan keadaan terkait

Pyromania

Pyromania adalah sejenis mania di mana muncul dorongan kuat untuk sengaja menyulut api untuk meredakan ketegangan dan biasanya menimbulkan perasaan lega atau puas setelah melakukannya. Penderita pyromania (atau biasa disebut pyromaniak) berbeda dengan para pembakar gedung (arson), pyromaniak juga berbeda dengan mereka yang menyulut api akibat psikosis, demi kepentingan pribadi, moneter, maupun politik, atau sebagai tindakan balas dendam. Pyromaniak menyulut api demi merangsang euforia, dan sering kali tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan pengendalian api, seperti pemadam kebakaran.

Simtoma

Simtoma atau simtom dalam penyakit adalah cara untuk melakukan pengindikasian keberadaan sesuatu penyakit atau gangguan kesehatan yang tidak diinginkan dengan melalui gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri penyakit yang dapat dirasakan seperti perasaan mual atau pusing, akan tetapi dalam hal ini tidak termasuk didalam pengertian karena halusinasi atau delusi, cara melakukan pengindikasian ini bertumpuk pada diri pelaku, bukan hasil dari pengamatan yang dilakukan berdasarkan pemeriksaan kedokteran.

Penggunaan lain simtoma juga terdapat dalam politik dimana artinya adalah melihat sebagai akar dari sesuatu permasalahan.

Psikopat secara harfiah berarti sakit jiwa. Psikopat berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Pengidapnya juga sering disebut sebagai sosiopat karena perilakunya yang antisosial dan merugikan orang-orang terdekatnya.

Psikopat tak sama dengan gila (skizofrenia/psikosis) karena seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya. Gejalanya sendiri sering disebut dengan psikopati, pengidapnya seringkali disebut orang gila tanpa gangguan mental. Menurut penelitian sekitar 1% dari total populasi dunia mengidap psikopati. Pengidap ini sulit dideteksi karena sebanyak 80% lebih banyak yang berkeliaran daripada yang mendekam di penjara atau di rumah sakit jiwa, pengidapnya juga sukar disembuhkan.

Seorang ahli psikopati dunia yang menjadi guru besar di Universitas British Columbia, Vancouver, Kanada bernama Robert D. Hare telah melakukan penelitian psikopat sekitar 25 tahun. Ia berpendapat bahwa seorang psikopat selalu membuat kamuflase yang rumit, memutar balik fakta, menebar fitnah, dan kebohongan untuk mendapatkan kepuasan dan keuntungan dirinya sendiri.

Dalam kasus kriminal, psikopat dikenali sebagai pembunuh, pemerkosa, dan koruptor. Namun, ini hanyalah 15-20 persen dari total psikopat. Selebihnya adalah pribadi yang berpenampilan sempurna, pandai bertutur kata, mempesona, mempunyai daya tarik luar biasa dan menyenangkan.

Psikopat memiliki 20 ciri-ciri umum. Namun ciri-ciri ini diharapkan tidak membuat orang-orang mudah mengecap seseorang psikopat karena diagnosis gejala ini membutuhkan pelatihan ketat dan hak menggunakan pedoman penilaian formal, lagipula dibutuhkan wawancara mendalam dan pengamatan-pengamatan lainnya. Mengecap seseorang dengan psikopat dengan sembarangan beresiko buruk, dan setidaknya membuat nama seseorang itu menjadi jelek.
Lima tahap mendiagnosis psikopat

1. Mencocokan kepribadian pasien dengan 20 kriteria yang ditetapkan Prof. Hare. Pencocokkan ini dilakukan dengan cara mewawancara keluarga dan orang-orang terdekat pasien, pengaduan korban, atau pengamatan prilaku pasien dari waktu ke waktu.
2. Memeriksa kesehatan otak dan tubuh lewat pemindaian menggunakan elektroensefalogram, MRI, dan pemeriksaan kesehatan secara lengkap. Hal ini dilakukan karena menurut penelitian gambar hasil PET (positron emission tomography) perbandingan orang normal, pembunuh spontan, dan pembunuh terencana berdarah dingin menunjukkan perbedaan aktivitas otak di bagian prefrontal cortex yang rendah. Bagian otak lobus frontal dipercaya sebagai bagian yang membentuk kepribadian.
3. Wawancara menggunakan metode DSM IV (The American Psychiatric Association Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder versi IV) yang dianggap berhasil untuk menentukan kepribadian antisosial.
4. Memperhatikan gejala kepribadian pasien. Biasanya sejak usia pasien 15 tahun mulai menunjukkan tanda-tanda gangguan kejiwaan.
5. Melakukan psikotes. Psikopat biasanya memiliki IQ yang tinggi.

Gejala-gejala psikopat

1. Sering berbohong, fasih dan dangkal. Psikopat seringkali pandai melucu dan pintar bicara, secara khas berusaha tampil dengan pengetahuan di bidang sosiologi, psikiatri, kedokteran, psikologi, filsafat, puisi, sastra, dan lain-lain. Seringkali pandai mengarang cerita yang membuatnya positif, dan bila ketahuan berbohong mereka tak peduli dan akan menutupinya dengan mengarang kebohongan lainnya dan mengolahnya seakan-akan itu fakta.
2. Egosentris dan menganggap dirinya hebat.
3. Tidak punya rasa sesal dan rasa bersalah. Meski kadang psikopat mengakui perbuatannya namun ia sangat meremehkan atau menyangkal akibat tindakannya dan tidak memiliki alasan untuk peduli.
4. Senang melakukan pelanggaran dan bermasalah perilaku di masa kecil.
5. Sikap antisosial di usia dewasa.
6. Kurang empati. Bagi psikopat memotong kepala ayam dan memotong kepala orang, tidak ada bedanya.
7. Psikopat juga teguh dalam bertindak agresif, menantang nyali dan perkelahian, jam tidur larut dan sering keluar rumah.
8. Impulsif dan sulit mengendalikan diri. Untuk psikopat tidak ada waktu untuk menimbang baik-buruknya tindakan yang akan mereka lakukan dan mereka tidak peduli pada apa yang telah diperbuatnya atau memikirkan tentang masa depan. Pengidap juga mudah terpicu amarahnya akan hal-hal kecil, mudah bereaksi terhadap kekecewaan, kegagalan, kritik, dan mudah menyerang orang hanya karena hal sepele.
9. Tidak mampu bertanggung jawab dan melakukan hal-hal demi kesenangan belaka.
10. Manipulatif dan curang. Psikopat juga sering menunjukkan emosi dramatis walaupun sebenarnya mereka tidak sungguh-sungguh. Mereka juga tidak memiliki respon fisiologis yang secara normal diasosiasikan dengan rasa takut seperti tangan berkeringat, jantung berdebar, mulut kering, tegang, gemetar — bagi psikopat hal ini tidak berlaku. Karena itu psikopat seringkali disebut dengan istilah “dingin”.
11. Hidup sebagai parasit karena memanfaatkan orang lain untuk kesenangan dan kepuasan dirinya.

Skizofrenia

Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra).

Pada pasien penderita, ditemukan penurunan kadar transtiretin atau pre-albumin yang merupakan pengusung hormon tiroksin, yang menyebabkan permasalahan pada fluida cerebrospinal.

Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia.

75% Penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri.

Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat. Seseorang yang mengalami gejala skizofrenia sebaiknya segera dibawa ke psikiater dan psikolog.

Gejala

Indikator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial). Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin.

Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas:

1. Gejala-gejala Positif
Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh orang lain.
2. Gejala-gejala Negatif
Gejala-gejala yang dimaksud disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara (alogia).

Meski bayi dan anak-anak kecil dapat menderita skizofrenia atau penyakit psikotik yang lainnya, keberadaan skizofrenia pada grup ini sangat sulit dibedakan dengan gangguan kejiwaan seperti autisme, sindrom Asperger atau ADHD atau gangguan perilaku dan gangguan stres post-traumatik. Oleh sebab itu diagnosa penyakit psikotik atau skizofrenia pada anak-anak kecil harus dilakukan dengan sangat berhati-hati oleh psikiater atau psikolog yang bersangkutan.

Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal orang memiliki perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh dan inkoheren.

Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala skizofrenia, misalnya stresor lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya, mereka yang normal bisa saja menderita skizofrenia jika stresor psikososial terlalu berat sehingga tak mampu mengatasi. Beberapa jenis obat-obatan terlarang seperti ganja, halusinogen atau amfetamin (ekstasi) juga dapat menimbulkan gejala-gejala psikosis.

Penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati, namun keluarga perlu menghindari reaksi yang berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, terlalu memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan. Perawatan terpenting dalam menyembuhkan penderita skizofrenia adalah perawatan obat-obatan antipsikotik yang dikombinasikan dengan perawatan terapi psikologis.

Kesabaran dan perhatian yang tepat sangat diperlukan oleh penderita skizofrenia. Keluarga perlu mendukung serta memotivasi penderita untuk sembuh. Kisah John Nash, doktor ilmu matematika dan pemenang hadiah Nobel 1994 yang mengilhami film A Beautiful Mind, membuktikan bahwa penderita skizofrenia bisa sembuh dan tetap berprestasi.

Kleptomania

Kleptomania (bahasa Yunani: κλέπτειν, kleptein, “mencuri”, μανία, “mania”) adalah penyakit jiwa yang membuat penderitanya tidak bisa menahan diri untuk mencuri. Benda-benda yang dicuri oleh penderita kleptomania umumnya adalah barang-barang yang tidak berharga, seperti mencuri gula, permen, sisir, atau barang-barang lainnya. Sang penderita biasanya merasakan rasa tegang subjektif sebelum mencuri dan merasakan kelegaan atau kenikmatan setelah mereka melakukan tindakan mencuri tersebut. Tindakan ini harus dibedakan dari tindakan mencuri biasa yang biasanya didorong oleh motivasi keuntungan dan telah direncanakan sebelumnya.

Depresi

Penyakit ini umum muncul pada masa puber dan ada sampai dewasa. Pada beberapa kasus, kleptomania diderita seumur hidup. Penderita juga mungkin memiliki kelainan jiwa lainnya, seperti kelainan emosi, Bulimia Nervosa, paranoid, schizoid atau borderline personality disorder.Kleptomania dapat muncul setelah terjadi cedera otak traumatik dan keracunan karbon monoksida.

Depresi adalah suatu kondisi yang lebih dari suatu keadaan sedih, bila kondisi depresi seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial sehari-harinya maka hal itu disebut sebagai suatu Gangguan Depresi. Beberapa gejala Gangguan Depresi adalah perasaan sedih, rasa lelah yang berlebihan setelah aktivitas rutin yang biasa, hilang minat dan semangat, malas beraktivitas, dan gangguan pola tidur. Depresi merupakan salah satu penyebab utama kejadian bunuh diri.

Penyebab suatu kondisi depresi meliputi:

* Faktor organobiologis karena ketidakseimbangan neurotransmiter di otak terutama serotonin
* Faktor psikologis karena tekanan beban psikis, dampak pembelajaran perilaku terhadap suatu situasi sosial
* Faktor sosio-lingkungan misalnya karena kehilangan pasangan hidup, kehilangan pekerjaan, paska bencana, dampak situasi kehidupan sehari-hari lainnya

Menurut Diagnostic and Statistical Manual IV – Text Revision (DSM IV-TR) (American Psychiatric Association, 2000), seseorang menderita gangguan depresi jika: A. Lima (atau lebih) gejala di bawah telah ada selama periode dua minggu dan merupakan perubahan dari keadaan biasa seseorang; sekurangnya salah satu gejala harus  emosi depresi atau  kehilangan minat atau kemampuan menikmati sesuatu.

1. Keadaan emosi depresi/tertekan sebagian besar waktu dalam satu hari, hampir setiap hari, yang ditandai oleh laporan subjektif (misal: rasa sedih atau hampa) atau pengamatan orang lain (misal: terlihat seperti ingin menangis).

2. Kehilangan minat atau rasa nikmat terhadap semua, atau hampir semua kegiatan sebagian besar waktu dalam satu hari, hampir setiap hari (ditandai oleh laporan subjektif atau pengamatan orang lain)

3. Hilangnya berat badan yang signifikan saat tidak melakukan diet atau bertambahnya berat badan secara signifikan (misal: perubahan berat badan lebih dari 5% berat badan sebelumnya dalam satu bulan)
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari

5. Kegelisahan atau kelambatan psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati oleh orang lain, bukan hanya perasaan subjektif akan kegelisahan atau merasa lambat)

6. Perasaan lelah atau kehilangan kekuatan hampir setiap hari

7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak wajar (bisa merupakan delusi) hampir setiap hari

8. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau sulit membuat keputusan, hampir setiap hari (ditandai oleh laporan subjektif atau pengamatan orang lain)

9. Berulang-kali muncul pikiran akan kematian (bukan hanya takut mati), berulang-kali muncul pikiran untuk bunuh diri tanpa rencana yang jelas, atau usaha bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk mengakhiri nyawa sendiri

Gejala-gejala tersebut juga harus menyebabkan gangguan jiwa yang cukup besar dan signifikan sehingga menyebabkan gangguan nyata dalam kehidupan sosial, pekerjaan atau area penting dalam kehidupan seseorang.

Cara menanggulangi depresi berbeda-beda sesuai dengan keadaan pasien, namun biasanya merupakan gabungan dari farmakoterapi dan psikoterapi atau konseling. Dukungan dari orang-orang terdekat serta dukungan spiritual juga sangat membantu dalam penyembuhan.

WIKIPEDIA


Ditulis dalam Mental Health

77 % Masyarakat Indonesia Terindikasi Mengidap Penyakit Jiwa

Z1

GanasNews.com- Hasil dari salah satu lembaga survei dunia menyatakan, bahwa hampir 77% masyarakat di Indonesia terindikasi penyakit jiwa.

Hasil survei ini diambil berdasarkan dari beberapa daerah yang ada di Indonesia, diantaranya, P. jawa, P. Sumatra, P. Kalimantan dan daerah Riau Kepulauan. Dari hasil survei, gejala penyakit ini terbesar terdapat di P. Sumatra dan P. Jawa.

Ada beberapa kalangan masyarakat yang diambil untuk bahan survei, yakni kalangan masyarakat yang taraf hidupnya sederhana dan lebih condong masyarakat menengah keatas, dengan usia 17-47 tahun. Dari hasil survei menunjukan, rata-rata usia yang terindikasi kuat mengidap penyakit jiwa adalah usia 23-43 tahun.

Gejala penyakit jiwa ini timbul dari kondisi masyarakat di Indonesia yang belakangan sudah tidak lagi peduli pada lingkungan disekitarnya dan lebih cendrung memikirkan keadaan masing-masing untuk bertahan hidup.

Apa lagi akhir-akhir ini di Indonesia hampir 100% masyarakatnya stres menghadapi kehidupan yang semakin sulit. Disamping itu faktor kehidupan sosial lainnya, seperti penegakan hukum yang dinilai tidak adil dan terlihat jelas didalam kehidupan bermasyarakat menjadi salah satu penyebab utama penyakit ini. Penyakit ini akan terus mengakar kuat pada setiap generasi di Indonesia

Untuk menghilangkan penyakit ini paling tidak Indonesia, harus menghapus satu generasi, namun itu suatu hal yang mustahil untuk dilakukan. (RGN)


Ditulis dalam Mental Health

Penyakit Jiwa Jadi Rangking II di Tahun 2020

JAKARTA – wartapedia : Tekanan ekonomi, globalisasi dan kemiskinan diprediksi bakal menjadi penyebab meningkatnya penderita gangguan jiwa. Penyakit gangguan jiwa diprediksi akan menjadi penyakit dengan urutan kedua setelah penyakit lainnya di tahun 2020.

Direktur Utama Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan Grogol, dr Bella Patriajaya, SpKJ saat jumpa pers menyambut hari Kesehatan Jiwa Nasional yang diperingati setiap 10 Oktober, di Jakarta menngatakan umlah pasien gangguan jiwa terus meningkat dari tahun ke tahun.

Stress di tingkat perkotaan dan desakan ekonomi, kurangnya rasa mengasihi dan rasa aman di duga menjadi penyebab terus meningkatnya kasus penderita gangguan jiwa di Indonesia.

Sejak Januari hingga Oktober 2010, ada sekitar 168 pasien gangguan jiwa yang mendapat rawat inap di RSJ Soeharto Heerdjan, sementara kasus rawat jalan sejak Januari hingga kini jumlahnya mencapai 11.000 orang.

“Penderita gangguan jiwa di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya terus meningkat, dari 837 pasien pada 2005 menjadi 1.457 pada 2009, Namun sayangnya jumlah dokter spesialis kejiwaan (psikiater) di Indonesia masih minim yakni hanya baru memiliki 600 ahli psikiatri,” kata Bella seperti dilansir badan informasi publik.

Untuk mengantisipasi terus meningkatnya penderita gangguan jiwa, gejala awal atau ciri-ciri hendaknya dapat diketahui sejak dini. Namun permasalahannya, masyarakat di daerah sulit untuk menjangkau RS yang dapat menangani penderita.

Jumlah RS jiwa di Indonesia hanya ada di 25 provinsi yang hanya sebanyak 32 RSJ dengan kapasitas tempat tidur/rawat hanya sekitar 8.000, ditambah 1 rumah sakit ketergantungan obat (RSKO) di Cibubur.

Direktur Medik dan Keperawatan RSJ Soeharto Heerdjan, dr Eka Viora SpKJ mengatakan penderita gangguan jiwa tidak dapat mengakses rumah sakit yang melayani penyakit gangguan jiwa, sementara Puskesmas belum memiliki kemampuan untuk memberikan perawatan akibatnya pasien di pasung di rumah karena dikhawatirkan menganggu lingkungannya.

“Di Pandeglang misalnya tidak ada RSJ, sementara Jamkesda nya pun belum mengcover untuk pasien dengan gangguan jiwa, sehingga masyarakat kesulitan untuk membawa penderita berobat,” kata Viora.

Penyakit depresi dan gangguan jiwa berat berada diurutan ke empat dari semua penyakit namun pada 2020 diprediksi penyakit ini akan berada diurutan kedua setelah penyakit lainnya.

Persiapan semua provinsi perlu dilakukan dengan meningkatkan peranan Puskesmas, agar dapat mendeteksi dini penyakit tersebut sangat penting dilakukan. Kementrian Kesehatan juga telah membentuk program dengan menyediakan akses pelayanan kesehatan jiwa dan konseling keluarga dan remaja yang dekat dengan tempat tinggal.

“Sekitar 8.000 Puskesmas ada di setiap desa dan kecamatan, diharapkan bisa mendeteksi secara dini sehingga kasus-kasus tidak terlambat dan akan menjadi gangguan jiwa berat, kalau Puskesmas bisa diberdayakan, gejala akan cepat dapat dikenali sehingga bisa sembuh,” ujarnya.

Dokter umum juga harus dilatih kemampuannya sehingga memiliki kompetensi dalam mengenali penyakit ini, misalnya memasukan ke dalam kurikulum pendidikan dokter, sehingga mereka siap jika harus merawat pasien dengan gangguan jiwa.(c6/bip/hms)


Ditulis dalam Mental Health

Mengenal Penyakit Skizofrenia – Salah Satu Gangguan Psikosis Fungsional

Skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional berupa gangguan mental berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas dan oleh kemunduran fungsi sosial, fungsi kerja, dan perawatan diri. Skizofrenia Tipe I ditandai dengan menonjolnya gejala-gejala positif seperti halusinasi, delusi, dan asosiasi longgar, sedangkan pada Skizofrenia Tipe II ditemukan gejala-gejala negative seperti penarikan diri, apati, dan perawatan diri yang buruk.

Skizofrenia terjadi dengan frekuensi yang sangat mirip di seluruh dunia. Skizofrenia terjadi pada pria dan wanita dengan frekuensi yang sama. Gejala-gejala awal biasanya terjadi pada masa remaja atau awal dua puluhan. Pria sering mengalami awitan yang lebih awal daripada wanita.

Faktor resiko penyakit ini termasuk :

  1. Riwayat skizofrenia dalam keluarga
  2. Perilaku premorbid yang ditandai dengan kecurigaan, eksentrik, penarikan diri, dan/atau impulsivitas.
  3. Stress lingkungan
  4. Kelahiran pada musim dingin. Faktor ini hanya memiliki nilai prediktif yang sangat kecil.
  5. Status sosial ekonomi yang rendah sekurang-kurangnya sebagian adalah karena dideritanya gangguan ini

Mengenal Penyakit Skizofrenia

Penyakit Skizofrenia Tidak ada jalur etiologi tunggal yang telah diketahui menjadi penyebab skizofrenia. Penyakit ini mungkin mewakili sekelompok heterogen gangguan yang mempunyai gejala-gejala serupa. Secara genetik, sekurang-kurangnya beberapa individu penderita skizofrenia mempunyai kerentanan genetic herediter. Kemungkinan menderita gangguan ini meningkat dengan adanya kedekatan genetic dengan, dan beratnya penyakit, probandnya. Penelitian Computed Tomography (CT) otak dan penelitian post mortem mengungkapkan perbedaan-perbedaan otak penderita skizofrenia dari otak normal walau pun belum ditemukan pola yang konsisten. Penelitian aliran darah, glukografi, dan Brain Electrical Activity Mapping (BEAM) mengungkapkan turunnya aktivitas lobus frontal pada beberapa individu penderita skizofrenia. Status hiperdopaminergik yang khas untuk traktus mesolimbik (area tegmentalis ventralis di otak tengah ke berbagai struktur limbic) menjadi penjelasan patofisiologis yang paling luas diterima untuk skizofrenia.

Semua tanda dan gejala skizofrenia telah ditemukan pada orang-orang bukan penderita skizofrenia akibat lesi system syaraf pusat atau akibat gangguan fisik lainnya. Gejala dan tanda psikotik tidak satu pun khas pada semua penderita skizofrenia. Hal ini menyebabkan sulitnya menegakkan diagnosis pasti untuk gangguan skizofrenia. Keputusan klinis diambil berdasarkan sebagian pada

  1. Tanda dan gejala yang ada
  2. Rriwayat psikiatri
  3. Setelah menyingkirkan semua etiologi organic yang nyata seperti keracunan dan putus obat akut.

Terapi Penyakit Skizofrenia
Obat neuroleptika selalu diberikan, kecuali obat-obat ini terkontraindikasi, karena 75% penderita skizofrenia memperoleh perbaikan dengan obat-obat neuroleptika. Kontraindikasi meliputi neuroleptika yang sangat antikolinergik seperti klorpromazin, molindone, dan thioridazine pada penderita dengan hipertrofi prostate atau glaucoma sudut tertutup. Antara sepertiga hingga separuh penderita skizofrenia dapat membaik dengan lithium. Namun, karena lithium belum terbukti lebih baik dari neuroleptika, penggunaannya disarankan sebatas obat penopang. Meskipun terapi elektrokonvulsif (ECT) lebih rendah disbanding dengan neuroleptika bila dipakai sendirian, penambahan terapi ini pada regimen neuroleptika menguntungkan beberapa penderita skizofrenia.

Hal yang penting dilakukan adalah intervensi psikososial. Hal ini dilakukan dengan menurunkan stressor lingkungan atau mempertinggi kemampuan penderita untuk mengatasinya, dan adanya dukungan sosial. Intervensi psikososial diyakini berdampak baik pada angka relaps dan kualitas hidup penderita. Intervensi berpusat pada keluarga hendaknya tidak diupayakan untuk mendorong eksplorasi atau ekspresi perasaan-perasaan, atau mempertinggi kewaspadaan impuls-impuls atau motivasi bawah sadar.

Tujuannya adalah :

  1. Pendidikan pasien dan keluarga tentang sifat-sifat gangguan skizofrenia.
  2. Mengurangi rasa bersalah penderita atas timbulnya penyakit ini. Bantu penderita memandang bahwa skizofrenia adalah gangguan otak.
  3. Mempertinggi toleransi keluarga akan perilaku disfungsional yang tidak berbahaya. Kecaman dari keluarga dapat berkaitan erat dengan relaps.
  4. Mengurangi keterlibatan orang tua dalam kehidupan emosional penderita. Keterlibatan yang berlebihan juga dapat meningkatkan resiko relaps.
  5. Mengidentifikasi perilaku problematik pada penderita dan anggota keluarga lainnya dan memperjelas pedoman bagi penderita dan keluarga.

Psikodinamik atau berorientasi insight belum terbukti memberikan keuntungan bagi individu skizofrenia. Cara ini malahan memperlambat kemajuan. Terapi individual menguntungkan bila dipusatkan pada penatalaksanaan stress atau mempertinggi kemampuan social spesifik, serta bila berlangsung dalam konteks hubungan terapeutik yang ditandai dengan empati, rasa hormat positif, dan ikhlas. Pemahaman yang empatis terhadap kebingungan penderita, ketakutan-ketakutannya, dan demoralisasinya amat penting dilakukan.

Prognosis Penyakit Skizofrenia
Fase residual sering mengikuti remisi gejala psikotik yang tampil penuh, terutama selama tahun-tahun awal gangguan ini. Gejala dan tanda selama fase ini mirip dengan gejala dan tanda pada fase prodromal; gejala-gejala psikotik ringan menetap pada sekitar separuh penderita. Penyembuhan total yang berlangsung sekurang-kurangnya tiga tahun terjadi pada 10% pasien, sedangkan perbaikan yang bermakna terjadi pada sekitar dua per tiga kasus. Banyak penderita skizofrenia mengalami eksaserbasi intermitten, terutama sebagai respon terhadap situasi lingkungan yang penuh stress. Pria biasanya mengalami perjalanan gangguan yang lebih berat dibanding wanita. Sepuluh persen penderita skizofrenia meninggal karena bunuh diri.

Prognosis baik berhubungan dengan tidak adanya gangguan perilaku prodromal, pencetus lingkungan yang jelas, awitan mendadak, awitan pada usia pertengahan, adanya konfusi, riwayat untuk gangguan afek, dan system dukungan yang tidak kritis dan tidak terlalu intrusive. Skizofrenia Tipe I tidak selalu mempunyai prognosis yang lebih baik disbanding Skizofrenia Tipe II. Sekitar 70% penderita skizofrenia yang berada dalam remisi mengalami relaps dalam satu tahun. Untuk itu, terapi selamanya diwajibkan pada kebanyakan kasus.


Penyebab Skizofrenia

Penyebab skizofrenia telah menjadi subyek dari banyak perdebatan, dengan berbagai faktor yang diusulkan dan diskon. Studi menunjukkan bahwa genetika, perkembangan janin, lingkungan awal, neurobiologi dan proses psikologis dan sosial merupakan faktor penyumbang penting. Penelitian kejiwaan saat ini ke dalam perkembangan gangguan ini sering didasarkan pada model perkembangan saraf. Dengan tidak adanya suatu patologi spesifik yang mendasari diagnosis dikonfirmasi, beberapa pertanyaan legitimasi status skizofrenia sebagai penyakit. Selain itu, beberapa mengusulkan bahwa persepsi dan perasaan yang terlibat bermakna dan tidak selalu melibatkan gangguan.

Meskipun tidak ada penyebab umum dari skizofrenia telah diidentifikasi dalam semua individu didiagnosis dengan kondisi, saat ini banyak peneliti dan dokter percaya hasil dari kombinasi keduanya kerentanan otak (baik warisan atau didapat) dan peristiwa kehidupan. Pendekatan luas diadopsi dikenal sebagai model ‘stres-kerentanan’, dan banyak perdebatan ilmiah yang sekarang berfokus pada berapa banyak masing-masing faktor memberikan kontribusi untuk pengembangan dan pemeliharaan skizofrenia. Skizofrenia ini paling sering pertama kali didiagnosis selama masa remaja akhir atau dewasa awal, yang menunjukkan bahwa ia seringkali proses akhir masa kanak-kanak dan perkembangan remaja. Ada rata-rata onset yang lebih awal bagi pria daripada wanita, dengan kemungkinan pengaruh hormon estrogen pada wanita menjadi salah satu hipotesis dan pengaruh sosial budaya lainnya.

Genetika

Bukti menunjukkan bahwa kerentanan genetik dan faktor lingkungan dapat bertindak dalam kombinasi untuk menghasilkan diagnosis skizofrenia. Penelitian menunjukkan bahwa kerentanan genetik untuk skizofrenia adalah multifaktorial, disebabkan oleh interaksi beberapa gen.

Setelah meninjau teknik seperti: Genom Asosiasi Studi Lebar; Polimorfisme Neucleotide Single dan Variasi Salin nomor; laporan jurnal Nature ini: pengamatan dasar adalah bahwa, “Anda memiliki fenomena yang nyata jelas di mana anak-anak mirip orang tua mereka “….” Meskipun apa anak mendapatkan diceritakan dalam sains sekolah dasar kita hanya tidak tahu bagaimana cara kerjanya, “sebagai Profesor ekologi dan biologi evolusi di Princeton, Leonid Kruglyak mengatakan (dalam meninjau hereditibility pada umumnya);. Ini mengutip skizofrenia sebagai suatu ciri di mana gen telah hilang.

Kedua studi kembar individu dan meta-analisis dari studi kembar estimasi heritabilitas risiko untuk skizofrenia menjadi sekitar 80% (ini mengacu pada proporsi variasi antara individu dalam suatu populasi yang dipengaruhi oleh faktor genetik, bukan tingkat penentuan genetik risiko individu). Adopsi penelitian juga menunjukkan risiko agak meningkat pada mereka dengan orang tua dengan skizofrenia bahkan ketika mengangkat terpisah. Studi menunjukkan bahwa fenotip secara genetik dipengaruhi tetapi tidak genetik ditentukan; bahwa varian dalam gen umumnya dalam kisaran variasi manusia normal dan memiliki risiko rendah yang terkait dengan mereka masing-masing individu, dan bahwa beberapa berinteraksi satu sama lain dan dengan faktor risiko lingkungan; dan bahwa mereka tidak mungkin khusus untuk skizofrenia. Beberapa studi kembar menemukan tingkat serendah 11,0% -13,8% di antara kembar monozigot, dan 1,8% -4,1% di antara kembar dizigotik, namun. Dalam “Pasangan Kembar Veteran” Penelitian, misalnya, 338 pasangan itu skizofrenia dengan hanya 26 pasang sesuai, dan disimpulkan dalam satu laporan: “peran faktor genetik disarankan tampaknya menjadi terbatas, 85 persen dari pasangan monozigot terpengaruh dalam sampel sumbang untuk skizofrenia “. Selain itu, beberapa ilmuwan mengkritik metodologi studi kembar, dan berpendapat bahwa dasar genetik dari skizofrenia ini masih belum diketahui atau terbuka untuk interpretasi yang berbeda.

Banyak upaya telah dimasukkan ke dalam studi genetika molekul skizofrenia, yang mencoba untuk mengidentifikasi gen-gen tertentu yang mungkin meningkatkan risiko. Sebuah tinjauan 2003 dari studi hubungan tercatat tujuh gen lebih mungkin untuk meningkatkan risiko untuk diagnosis kemudian gangguan tersebut. Dua ulasan terakhir menyarankan bahwa bukti terkuat untuk dua gen yang dikenal sebagai dysbindin (DTNBP1) dan neuregulin (NRG1), dan bahwa sejumlah gen lain (seperti COMT,, RGS4 PPP3CC, ZDHHC8, DISC1, dan AKT1) menunjukkan beberapa awal menjanjikan hasil. Variasi dekat FXYD6 gen juga telah dikaitkan dengan skizofrenia di Inggris tapi tidak di Jepang. Pada tahun 2008, rs7341475 SNP gen reelin dikaitkan dengan peningkatan risiko skizofrenia pada wanita, tetapi tidak pada pria. Asosiasi ini perempuan-spesifik direplikasi di beberapa populasi.

Studi terbesar genetik paling komprehensif dari jenisnya, melibatkan tes beberapa ratus nukleotida polimorfisme tunggal (SNP) di hampir 1.900 individu dengan skizofrenia atau gangguan schizoaffective dan 2.000 subjek perbandingan, melaporkan pada 2008 bahwa tidak ada bukti dari setiap hubungan yang signifikan antara gangguan dan setiap dari 14 gen kandidat yang sebelumnya diidentifikasi (RGS4, DISC1, DTNBP1, STX7, TAAR6, PPP3CC, NRG1, DRD2, HTR2A, DAOA, AKT1, CHRNA7, COMT, dan ARVCF). Distribusi statistik yang disarankan tidak lebih dari variasi kebetulan. Para penulis menyimpulkan bahwa temuan membuatnya mungkin bahwa SNP umum dalam gen ini account untuk sebagian besar dari risiko genetik untuk skizofrenia, meskipun efek kecil tidak dapat dikesampingkan.

Analisis mungkin terbesar asosiasi genetik pada skizofrenia adalah dengan database SzGene pada Forum Riset Skizofrenia. Satu 2008 meta-analisis diperiksa varian genetik pada 16 gen dan menemukan efek nominal yang signifikan.

Penelitian lain telah menyarankan bahwa lebih besar dari rata-rata jumlah penghapusan langka atau duplikasi urutan DNA kecil dalam gen (dikenal sebagai salinan jumlah varian) terkait dengan peningkatan risiko untuk skizofrenia, terutama dalam “sporadis” kasus tidak terkait dengan riwayat keluarga skizofrenia , dan bahwa faktor genetik dan jalur perkembangan demikian dapat berbeda pada individu yang berbeda. Sebuah survei genom luas 3.391 individu dengan skizofrenia ditemukan CNV dalam waktu kurang dari 1% kasus. Dalam diri mereka, penghapusan di daerah terkait dengan psikosis diamati, serta penghapusan pada kromosom 15q13.3 dan 1q21.1. CNV terjadi karena non-dimediasi rekombinasi homolog alelik dengan mengulangi copy rendah (daerah berurutan yang serupa). Hal ini mengakibatkan penghapusan dan duplikasi gen sensitif dosis. Telah berspekulasi bahwa CNV mendasari proporsi yang signifikan dari variasi manusia normal, termasuk perbedaan kognitif, perilaku, dan fitur psikologis, dan bahwa CNV dalam setidaknya tiga lokus dapat mengakibatkan peningkatan risiko untuk skizofrenia dalam beberapa individu .. Epigenetika juga mungkin memainkan peran dalam skizofrenia, dengan ekspresi Protocadherin 11 X / Y memainkan peran mungkin dalam skizofrenia.

Sebuah studi 2009 mampu menciptakan tikus gejala skizofrenia yang cocok dengan penghapusan hanya satu set gen, orang-orang dari reseptor pasca-sinaptik neuregulin. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar dikembangkan tikus normal, pada perkembangan otak lebih lanjut brokedown, reseptor glutamat. Teori ini mendukung hipotesis glutamat skizofrenia.

Kebidanan Acara

Hal ini juga ditetapkan bahwa obstetri komplikasi atau kejadian yang dikaitkan dengan kemungkinan peningkatan anak kelak skizofrenia berkembang, meskipun secara keseluruhan mereka merupakan faktor risiko non-spesifik dengan efek yang relatif kecil. Komplikasi obstetrik terjadi pada sekitar 25 sampai 30% dari populasi umum dan sebagian besar tidak mengembangkan skizofrenia, dan juga mayoritas individu dengan skizofrenia tidak memiliki acara kebidanan terdeteksi. Namun, risiko rata-rata meningkat baik-direplikasi, dan peristiwa tersebut dapat moderat efek genetik atau faktor-faktor risiko lingkungan. Komplikasi tertentu atau peristiwa yang paling terkait dengan skizofrenia, dan mekanisme efek mereka, masih di bawah pemeriksaan.

Salah satu temuan epidemiologi adalah bahwa orang didiagnosis dengan skizofrenia lebih mungkin telah lahir di musim dingin atau musim semi (setidaknya di belahan bumi utara). Namun, efeknya tidak besar. Penjelasan telah memasukkan prevalensi yang lebih besar infeksi virus pada waktu itu, atau kemungkinan lebih besar kekurangan vitamin D. Efek yang sama (kemungkinan peningkatan yang lahir di musim dingin dan musim semi) juga telah ditemukan dengan lainnya, populasi yang sehat, seperti pemain catur. Wanita yang sedang hamil selama kelaparan Belanda tahun 1944, di mana banyak orang dekat dengan kelaparan (mengalami malnutrisi) memiliki kesempatan yang lebih tinggi memiliki anak yang kemudian akan mengembangkan skizofrenia. Studi Finlandia ibu yang sedang hamil ketika mereka mengetahui bahwa suami mereka telah tewas selama Perang Winter 1939-1940 telah menunjukkan bahwa anak-anak mereka secara bermakna lebih mungkin untuk mengembangkan skizofrenia bila dibandingkan dengan ibu yang mengetahui tentang kematian suami mereka setelah kehamilan, menunjukkan bahwa stres ibu mungkin berpengaruh.

Pertumbuhan Janin

Lebih rendah dari berat lahir rata-rata telah menjadi salah satu temuan yang paling konsisten, menunjukkan pertumbuhan janin melambat mungkin dimediasi oleh efek genetik. Hampir semua faktor dapat mempengaruhi janin akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan, bagaimanapun, jadi asosiasi telah digambarkan sebagai penyebab mengenai tidak terlalu informatif. Selain itu, sebagian besar penelitian kelompok kelahiran telah gagal untuk menemukan hubungan antara skizofrenia dan berat badan lahir rendah atau tanda-tanda lain dari keterbelakangan pertumbuhan.

Model hewan telah menyarankan hubungan antara restriksi pertumbuhan intrauterin dan kelainan neurologis spesifik mirip dengan yang mungkin terlibat dalam perkembangan skizofrenia, termasuk pembesaran ventrikel dan mengurangi volume hipokampus pada marmut.

Hipoksia

Telah dihipotesiskan sejak 1970-an bahwa otak hipoksia (kadar oksigen rendah) sebelum, saat atau segera setelah lahir dapat menjadi faktor risiko untuk pengembangan skizofrenia. Baru-baru ini telah digambarkan sebagai salah satu yang paling penting dari faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kerentanan, meskipun penelitian telah terutama epidemiologi. Hipoksia janin, di hadapan gen tertentu tak dikenal, telah berkorelasi dengan mengurangi volume dari hippocampus, yang pada gilirannya berkorelasi dengan skizofrenia. Meskipun kebanyakan studi telah ditafsirkan sebagai hipoksia menyebabkan beberapa bentuk disfungsi saraf atau bahkan kerusakan yang halus, telah disarankan bahwa hipoksia fisiologis yang berlaku di embrio normal dan perkembangan janin, atau hipoksia patologis atau iskemia, dapat mengerahkan efek dengan mengatur atau dysregulating gen terlibat dalam perkembangan saraf. Sebuah tinjauan pustaka menilai bahwa lebih dari 50% dari gen kandidat untuk kerentanan terhadap skizofrenia memenuhi kriteria untuk “iskemia-hipoksia regulasi dan / atau ekspresi pembuluh darah”.

Sebuah studi longitudinal menemukan bahwa komplikasi obstetri yang melibatkan hipoksia adalah salah satu faktor yang terkait dengan gangguan perkembangan saraf di masa kecil dan dengan perkembangan selanjutnya dari gangguan schizophreniform. Hipoksia janin telah ditemukan untuk memprediksi pergerakan yang tidak biasa pada usia 4 (tetapi tidak usia 7) antara anak-anak yang terus mengembangkan skizofrenia, menunjukkan bahwa efek khusus untuk tahap neurodevelopment. Sebuah studi kasus Jepang kembar monozigot sumbang untuk skizofrenia (satu memiliki diagnosis sementara yang lain tidak) menarik perhatian pada bobot yang berbeda mereka saat lahir dan menyimpulkan hipoksia mungkin faktor pembeda. Para lateralitas fungsional yang tidak biasa dalam produksi ujaran (misalnya belahan proses pendengaran kanan) yang ditemukan pada beberapa individu dengan skizofrenia dapat disebabkan jaringan saraf menyimpang didirikan sebagai kompensasi untuk kerusakan lobus temporalis kiri disebabkan oleh hipoksia pra-atau perinatal. Hipoksia perinatal prenatal dan tampaknya menjadi penting sebagai salah satu faktor dalam model perkembangan saraf, dengan implikasi penting bahwa beberapa bentuk skizofrenia dengan demikian dapat dicegah.

Penelitian pada tikus berusaha untuk memahami peran kemungkinan hipoksia prenatal pada gangguan seperti skizofrenia telah mengindikasikan bahwa hal itu dapat menyebabkan berbagai sensorimotor dan kelainan belajar / memori. Gangguan dalam fungsi motorik dan koordinasi, jelas pada tugas-tugas menantang ketika hipoksia itu cukup parah untuk menyebabkan kerusakan otak, tahan lama dan digambarkan sebagai “tanda hipoksia pralahir”. Beberapa penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa hipoksia janin dapat mempengaruhi banyak dari substrat saraf yang sama terlibat dalam skizofrenia, tergantung pada keparahan dan durasi dari peristiwa hipoksia serta masa kehamilan, dan pada manusia sedang atau berat (tapi tidak ringan) janin hipoksia telah dikaitkan dengan serangkaian defisit motorik, bahasa dan kognitif pada anak-anak, terlepas dari kewajiban genetik untuk skizofrenia.

Sedangkan kebanyakan studi menemukan hanya efek sederhana hipoksia pada skizofrenia, sebuah studi longitudinal menggunakan kombinasi indikator untuk mendeteksi hipoksia janin mungkin, seperti awal setara Tanda Lunak saraf atau komplikasi obstetrik, melaporkan bahwa risiko skizofrenia dan psikosis nonaffective lainnya “sangat tinggi” (5,75% vs 0,39%).

Faktor lain

Ada literatur yang muncul pada berbagai faktor risiko kehamilan, seperti stres kehamilan, intrauterin (dalam rahim) kekurangan gizi, dan infeksi pranatal. Peningkatan usia orangtua telah dikaitkan, mungkin karena komplikasi kehamilan meningkatkan risiko mutasi genetik. Ibu-janin atau ketidakcocokan rhesus genotipe juga telah dikaitkan, melalui meningkatkan risiko lingkungan pranatal yang merugikan. Dan, pada ibu dengan skizofrenia, peningkatan risiko telah diidentifikasi melalui interaksi yang kompleks antara genotipe ibu, perilaku ibu, lingkungan prenatal dan mungkin obat-obatan dan faktor sosial ekonomi.

Infeksi

Banyak infeksi virus, di dalam rahim atau di masa kanak-kanak, telah dihubungkan dengan peningkatan risiko skizofrenia di kemudian hari berkembang. Skizofrenia agak lebih umum pada mereka yang lahir di musim dingin untuk awal musim semi, ketika infeksi yang lebih umum.

Influenza telah lama dipelajari sebagai faktor yang mungkin. Sebuah studi 1988 menemukan bahwa orang yang terkena flu Asia sebagai janin trimester kedua adalah pada peningkatan risiko skizofrenia akhirnya berkembang. Hasil ini diperkuat oleh sebuah studi kemudian Inggris pandemi yang sama,, tapi tidak dengan studi tahun 1994 dari pandemi di Kroasia. Sebuah studi Jepang juga menemukan tidak ada dukungan untuk link antara skizofrenia dan kelahiran setelah epidemi influenza.

Polio, campak, varisela-zoster, rubella, herpes simplex virus tipe 2, infeksi kelamin ibu, dan baru-baru Toxoplasma gondii, telah berkorelasi dengan perkembangan selanjutnya dari skizofrenia. E. Fuller Torrey Psikiater dan RH Yolken telah memperkirakan bahwa yang terakhir, parasit yang umum pada manusia, kontribusi untuk beberapa, jika tidak banyak, kasus skizofrenia. Dalam analisis meta-dari beberapa penelitian, mereka menemukan tingkat moderat lebih tinggi antibodi Toxoplasma pada pasien dengan skizofrenia dan tingkat mungkin lebih tinggi paparan pralahir atau postnatal dini untuk Toxoplasma gondii, tetapi infeksi tidak akut. Namun, dalam studi lain jaringan postmortem otak, penulis telah melaporkan hasil samar-samar atau negatif, termasuk tidak ada bukti herpes virus atau T. gondii keterlibatan dalam skizofrenia.

Ada beberapa bukti untuk peran autoimunitas dalam pengembangan beberapa kasus skizofrenia. Sebuah korelasi statistik telah dilaporkan dengan berbagai macam penyakit autoimun dan studi langsung telah mengaitkan status kekebalan disfungsional untuk beberapa fitur klinis skizofrenia.

Anak pendahulunya

Secara umum, anteseden skizofrenia halus dan mereka yang akan terus mengembangkan skizofrenia tidak membentuk subkelompok mudah diidentifikasi. Perbedaan kelompok rata-rata dari norma mungkin dalam arah kinerja unggul serta rendah. Secara keseluruhan, lahir penelitian kohort telah menunjukkan fitur halus perilaku spesifik, beberapa bukti untuk psikotik seperti pengalaman (terutama halusinasi), dan anteseden kognitif berbagai. Ada beberapa inkonsistensi dalam domain tertentu fungsi diidentifikasi dan apakah mereka terus melalui masa kanak-kanak dan apakah mereka khusus untuk skizofrenia.

Sebuah studi prospektif menemukan perbedaan rata-rata di berbagai domain perkembangan, termasuk mencapai tonggak perkembangan motorik pada usia lanjut, memiliki masalah bicara lagi, hasil tes yang lebih rendah pendidikan, preferensi bermain soliter pada usia empat dan enam, dan menjadi lebih sosial cemas pada usia 13. Peringkat yang lebih rendah keterampilan ibu dan pemahaman anak pada usia 4 juga terkait.

Beberapa perbedaan perkembangan awal diidentifikasi dalam tahun pertama kehidupan dalam sebuah studi di Finlandia, meskipun secara umum berhubungan dengan gangguan psikotik daripada skizofrenia pada khususnya. Tanda-tanda motorik halus awal bertahan sampai batas tertentu, menunjukkan link kecil untuk kinerja sekolah nanti pada masa remaja. Sebuah studi sebelumnya menemukan bahwa anak-anak Finlandia kinerja 400 orang yang didiagnosis dengan skizofrenia secara signifikan lebih buruk daripada kontrol pada mata pelajaran yang melibatkan koordinasi motorik (olahraga dan kerajinan) antara usia 7 dan 9, namun tidak ada perbedaan pada mata pelajaran akademik (bertentangan dengan beberapa lainnya IQ temuan). (Pasien dalam kelompok usia ini dengan gejala-gejala secara signifikan lebih kecil kemungkinannya untuk maju ke sekolah tinggi, meskipun kemampuan akademik) Namun, reanalisis data dari studi kemudian Finlandia, pada anak-anak lebih tua (14 sampai 16) dalam sistem sekolah berubah, menggunakan kriteria diagnostik sempit dan dengan kasus yang kurang tapi kontrol lebih, tidak mendukung perbedaan yang signifikan pada kinerja olahraga dan kerajinan. Namun, studi lain menemukan bahwa skor biasa koordinasi motor pada usia 7 tahun di masa dewasa dikaitkan dengan kedua orang-orang dengan skizofrenia dan saudara tidak terpengaruh mereka, sementara gerakan-gerakan yang tidak biasa pada usia 4 dan 7 diprediksi skizofrenia dewasa, tetapi bukan status saudara terpengaruh.

Sebuah studi kohort kelahiran di Selandia Baru menemukan bahwa anak-anak yang terus mengembangkan schizophreniform gangguan telah, serta masalah emosional dan kesulitan interpersonal yang terkait dengan semua hasil psikiatri dewasa diukur, gangguan signifikan dalam neuromotor, bahasa reseptif, dan perkembangan kognitif. Sebuah studi retrospektif menemukan bahwa orang dewasa dengan skizofrenia telah dilakukan lebih baik dari rata-rata mata pelajaran seni di usia 12 dan 15, dan dalam mata pelajaran bahasa dan agama pada usia 12, tapi lebih buruk dari rata-rata dalam senam pada usia 15.

Beberapa studi kecil pada keturunan individu dengan skizofrenia telah mengidentifikasi berbagai defisit neurobehavioral, lingkungan keluarga miskin dan perilaku mengganggu sekolah, keterlibatan rekan miskin, ketidakdewasaan atau dibenci atau kompetensi sosial yang lebih miskin dan meningkatkan symptomology skizofrenia muncul selama masa remaja.

Sebuah minoritas “defisit sindrom” subtipe skizofrenia diusulkan untuk menjadi lebih ditandai dengan penyesuaian miskin awal dan masalah perilaku, dibandingkan dengan non-defisit subtipe.

Zat Gunakan

Hubungan antara skizofrenia dan penggunaan narkoba adalah kompleks, yang berarti bahwa hubungan kausal yang jelas antara penggunaan obat dan skizofrenia telah sulit untuk menggoda terpisah. Ada bukti kuat bahwa menggunakan obat-obatan tertentu dapat memicu timbulnya baik atau kambuhnya skizofrenia pada beberapa orang. Hal ini juga mungkin terjadi, bagaimanapun, bahwa orang dengan obat menggunakan skizofrenia untuk mengatasi perasaan negatif yang terkait dengan kedua obat antipsikotik umum diresepkan dan kondisi itu sendiri, di mana emosi negatif, paranoia dan anhedonia semua dianggap fitur inti.

Tingkat penggunaan zat yang dikenal sangat tinggi dalam kelompok ini. Dalam penelitian terbaru, 60% orang dengan skizofrenia ditemukan menggunakan zat dan 37% akan didiagnosis dengan gangguan penggunaan zat.

Amfetamin

Sebagai amfetamin memicu pelepasan dopamin dan fungsi dopamin berlebihan diyakini bertanggung jawab untuk banyak gejala skizofrenia (dikenal sebagai hipotesis dopamin skizofrenia), amfetamin dapat memperburuk gejala skizofrenia.

Halusinogen

Skizofrenia kadang-kadang dapat dipicu oleh penggunaan berat obat halusinogen atau stimulan, meskipun beberapa klaim bahwa kecenderungan untuk mengembangkan skizofrenia diperlukan untuk hal ini terjadi. Ada juga beberapa bukti yang menunjukkan bahwa orang yang menderita skizofrenia tetapi menanggapi pengobatan dapat memiliki kekambuhan karena penggunaan narkoba berikutnya.

Obat-obatan seperti ketamin, PCP, dan LSD telah digunakan untuk meniru skizofrenia untuk tujuan penelitian. Menggunakan LSD dan psychedelics lainnya sebagai model kini telah jatuh dari nikmat dengan komunitas riset ilmiah, sebagai perbedaan antara diinduksi obat negara dan presentasi khas skizofrenia telah menjadi jelas. Para ketamin dissociatives dan PCP masih dianggap untuk menghasilkan negara yang sangat mirip namun.

Cannabis

Ada beberapa bukti bahwa penggunaan ganja dapat menyebabkan skizofrenia. Beberapa studi menunjukkan bahwa ganja bukanlah suatu faktor yang cukup dan tidak perlu dalam mengembangkan skizofrenia, tapi ganja yang secara signifikan dapat meningkatkan risiko skizofrenia berkembang dan mungkin, antara lain, faktor kausal yang signifikan. Namun demikian, beberapa penelitian sebelumnya di daerah ini telah dikritik karena sering tidak jelas apakah menggunakan ganja adalah penyebab atau efek dari skizofrenia. Untuk mengatasi masalah ini, sebuah tinjauan terbaru studi dari mana kontribusi kausal dengan skizofrenia dapat dinilai telah menyarankan bahwa ganja statistik menggandakan risiko terkena skizofrenia pada tingkat individu, dan mungkin, dengan asumsi hubungan kausal, bertanggung jawab untuk sampai dengan 8 % kasus dalam populasi.

Sebuah penelitian longitudinal yang lebih tua, diterbitkan pada tahun 1987, menyarankan enam kali lipat peningkatan risiko skizofrenia bagi konsumen yang tinggi ganja (digunakan pada lebih dari lima puluh kali) di Swedia.

Meskipun peningkatan konsumsi ganja pada tahun 1960 dan 1970-an dalam masyarakat Barat, tingkat gangguan psikotik seperti skizofrenia tetap relatif stabil. Swedia dan Jepang, di mana diri melaporkan penggunaan ganja adalah sangat rendah, tidak memiliki tingkat yang lebih rendah dibandingkan psikosis AS dan Kanada lakukan. Untuk teori kausalitas yang benar untuk menjadi benar, faktor lain yang dianggap berkontribusi untuk skizofrenia harus telah berkumpul hampir sempurna untuk menutupi efek dari penggunaan ganja meningkat.

Tembakau Gunakan

Orang dengan skizofrenia cenderung asap tembakau secara signifikan lebih daripada populasi umum. Tarif ini sangat tinggi di antara pasien dilembagakan dan tunawisma. Dalam sensus Inggris dari tahun 1993, 74% orang dengan skizofrenia yang hidup dalam lembaga yang ditemukan untuk menjadi perokok. Sebuah studi tahun 1999 yang meliputi semua orang dengan skizofrenia pada Nithsdale, Skotlandia menemukan tingkat prevalensi 58% dari merokok, untuk membandingkan dengan 28% pada populasi umum. Sebuah studi yang lebih tua menemukan bahwa sebanyak 88% dari pasien rawat jalan dengan skizofrenia adalah perokok.

Meskipun prevalensi lebih tinggi dari merokok tembakau, orang didiagnosis dengan skizofrenia memiliki jauh lebih rendah daripada rata-rata kesempatan mengembangkan dan kematian akibat kanker paru-paru. Sementara alasan untuk ini tidak diketahui, mungkin karena resistensi genetik untuk kanker, efek samping obat yang diambil, atau efek statistik kemungkinan peningkatan kematian akibat penyebab lain dari kanker paru-paru.

Sebuah studi tahun 2003 lebih dari 50.000 wajib militer Swedia menemukan bahwa ada efek perlindungan yang kecil tapi signifikan merokok terhadap risiko mengembangkan skizofrenia di kemudian hari. Sementara penulis studi menekankan bahwa risiko merokok jauh lebih besar daripada manfaat kecil, studi ini memberikan bukti lebih lanjut untuk teori “pengobatan sendiri” merokok pada skizofrenia dan dapat memberikan petunjuk tentang bagaimana skizofrenia mungkin mengembangkan pada tingkat molekuler. Selain itu, banyak orang dengan skizofrenia telah merokok produk tembakau jauh sebelum mereka didiagnosis dengan penyakit, dan beberapa kelompok menganjurkan bahwa bahan kimia dalam tembakau telah benar-benar memberi kontribusi pada terjadinya penyakit dan tidak memiliki manfaat apapun.

Hal yang menarik bahwa merokok mempengaruhi fungsi hati sehingga obat antipsikotik yang digunakan untuk mengobati skizofrenia dipecah dalam aliran darah lebih cepat. Ini berarti bahwa perokok dengan skizofrenia memerlukan dosis sedikit lebih tinggi dari obat antipsikotik dalam rangka bagi mereka untuk menjadi efektif daripada melakukan non-merokok mereka rekan-rekan.

Tingkat peningkatan merokok di skizofrenia mungkin karena keinginan untuk mengobati diri dengan nikotin. Salah satu alasan yang mungkin adalah bahwa merokok menghasilkan efek jangka pendek untuk meningkatkan kewaspadaan dan fungsi kognitif pada orang yang menderita penyakit ini. Telah menduga bahwa mekanisme efek ini adalah bahwa orang dengan skizofrenia memiliki gangguan fungsi reseptor nicotinic yang sementara mereda oleh penggunaan tembakau.

Sebuah studi dari tahun 1989 dan 2004 penelitian menunjukkan terjadi bahwa ketika diberikan haloperidol, nikotin membatasi sejauh mana antipsikotik akan meningkatkan sensitivitas dari reseptor dopamin 2. Tergantung pada sistem dopamin, gejala Tardive Dyskinesia tidak ditemukan pada pasien diberikan nikotin meskipun peningkatan sekitar 70% dalam aktivitas reseptor dopamin, tetapi kontrol memiliki lebih dari 90% dan melakukan mengembangkan symptoms.A 1997 studi menunjukkan bahwa secara signifikan akatisia berkurang pada administrasi nikotin saat akatisia itu disebabkan oleh antipsikotik. Hal ini memberikan kepercayaan pada gagasan tembakau dapat digunakan untuk mengobati sendiri dengan membatasi efek dari penyakit, obat, atau keduanya.

Pengalaman Hidup

Kesempatan mengembangkan skizofrenia telah ditemukan meningkat dengan jumlah faktor sosial yang merugikan (misalnya indikator sosial ekonomi yang merugikan atau pengecualian sosial) hadir dalam masa kanak-kanak. Peristiwa kehidupan yang penuh stres pada umumnya mendahului timbulnya skizofrenia. Sebuah riwayat keluarga pribadi atau baru migrasi adalah faktor risiko yang cukup besar untuk skizofrenia, yang telah dikaitkan dengan kesulitan psikososial, kekalahan sosial dari yang luar, diskriminasi rasial, disfungsi keluarga, pengangguran dan kondisi perumahan yang buruk. Anak pengalaman pelecehan atau trauma merupakan faktor risiko untuk diagnosis skizofrenia di kemudian hari. Terakhir studi skala besar populasi umum menunjukkan hubungan kausal adalah satu, dengan meningkatnya risiko dengan pengalaman tambahan penganiayaan, meskipun tinjauan kritis menunjukkan isu-isu konseptual dan metodologis memerlukan penelitian lebih lanjut. Ada beberapa bukti bahwa kemalangan dapat menyebabkan bias kognitif dan / atau neurotransmisi dopamin berubah, sebuah proses yang telah disebut “sensitisasi”. Pengalaman sosial tertentu telah dikaitkan dengan mekanisme psikologis tertentu dan pengalaman psikotik dalam skizofrenia. Selain itu, studi neuroimaging struktural korban pelecehan seksual dan trauma lainnya kadang-kadang melaporkan temuan yang sama dengan yang kadang-kadang ditemukan pada pasien psikotik, seperti penipisan corpus callosum, kehilangan volume di korteks cingulate anterior, dan mengurangi volume hipokampus.

Urbanicity

Temuan khususnya stabil dan ditiru telah menjadi hubungan antara yang hidup di lingkungan perkotaan dan pengembangan skizofrenia, bahkan setelah faktor-faktor seperti penggunaan narkoba, kelompok etnis dan ukuran kelompok sosial telah dikendalikan untuk. Sebuah studi baru-baru ini 4,4 juta pria dan wanita di Swedia menemukan risiko peningkatan 68% -77% dari psikosis didiagnosis bagi orang-orang yang tinggal di lingkungan yang paling urbanisasi, proporsi yang signifikan dari yang mungkin digambarkan sebagai skizofrenia. Efeknya tampaknya tidak disebabkan oleh insiden yang lebih tinggi komplikasi obstetrik di lingkungan perkotaan. Risiko meningkat dengan jumlah tahun dan tingkat kehidupan kota di masa kecil dan remaja, menunjukkan bahwa konstanta, kumulatif, atau berulang paparan selama pendidikan lebih sering terjadi di daerah perkotaan bertanggung jawab untuk asosiasi. Berbagai kemungkinan penjelasan untuk efek telah dinilai tidak didasarkan pada sifat dari temuan, termasuk penyebab infeksi atau efek stres generik. Hal ini diduga untuk berinteraksi dengan disposisi genetik dan, karena tampaknya ada variasi nonrandom bahkan di lingkungan yang berbeda, dan asosiasi independen dengan isolasi sosial, telah diusulkan bahwa tingkat “modal sosial” (misalnya tingkat saling percaya, ikatan dan keselamatan di lingkungan) dapat memberikan dampak perkembangan pada anak-anak tumbuh di lingkungan ini.

Tutup Hubungan

Bukti konsisten bahwa sikap negatif dari orang lain meningkatkan risiko relaps skizofrenia, dalam komentar yang kritis tertentu, permusuhan, otoriter, dan sikap mengganggu atau mengontrol (‘tinggi emosi diungkapkan’ disebut oleh peneliti). Meskipun anggota keluarga dan orang lain yang signifikan tidak bertanggung jawab untuk skizofrenia – sikap, perilaku dan interaksi semua pihak yang ditujukan – hubungan disfungsional yang tidak mendukung juga dapat menyebabkan peningkatan risiko mengembangkan skizofrenia.


Konsep Dasar Skizofrenia dan Penyebabnya

A. Konsep Dasar Skizofrenia
1. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, dan sosial budaya (Rusdi Maslim, 2000 : 46).
Skizofrenia merupakan suatu gangguan psikotik yangg kronik, sering mereda, namun hilang timbul dengan manifestasi klinis yang amat luas variasinya (Kaplan 2000 : 407)
Menurut Eugen Bleuler (Maramis, 1998 : 217) Skizofrenia adalah suatu gambaran jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses pikir, perasaan dan perbuatan.
Dari ketiga pengertian diatas, penulis menyimpulkan bahwa skizofrenia merupakan suatu gambaran sindrom dengan berbagai macam penyebab dan perjalanan yang banyak dan beragam, dimana terjadi keretakan jiwa atau ketidak harmonisan dan ketidaksesuaian antara proses pikir, perasaan dan perbuatan serta hilang timbul dengan manisfestasi klinis yang beragam.

2. Etiologi
Dengan beragamnya presentasi gejala dan prognostik, maka tidak ada faktor etiologi yang dianggap kausatif. Oleh karena itu terdapat berbagai penyebab, antara lain :
a. Model Diatesis Stress
Merupakan model yang sering di gunakan. Model ini mengemukakan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis). Apabila hal tersebut dipengaruhi oleh stressor baik biologis, genetik, psikososial, dan lingkungan akan menimbulkan perkembangan gejala skizofrenia.

b. Faktor Biologis
Area otak utama yang terlibat dalam skizofrenia adalah sistem limbik, ganglia basalis, lobus frontalis. Sistem limbik berfungsi mengendalikan emosi. Pada skizofrenia terjadi penurunan daerah amigdala, hipokampus dan girus parahipokampus. Jika fungsi ini terganggu maka akan menimbulkan gejala skizofrenia yaitu terjadi gangguan emosi. Ganglia basalis berkaitan dengan pengendali pergerakan. Pada pasien dengan gejala skizofrenia memperlihatkan pergerakan yang aneh, seperti gaya berjalan yang kaku, menyeringaikan wajah dan stereotipik. Selain itu ganglia basalis berhubungan timbal balik dengan lobus frontalis sehingga jika terjadi kelainan pada area lobus frontalis maka akan mempengaruhi fungsi ganglia basalis.
c. Genetik
Telah banyak penelitian yang memastikan bahwa pengarus genetik sanat besar pada pasien skizofrenia. Kemabr monozigot memiliki angka kesesuaian yang tertinggi. Penelitian yang mutakhir telah menemukan bahwa pertanda kromosom yang berhubungan dengan skizofrenia adalah kromosom 5,11 dan 18 pada bagian lengan panjang dan kromosom 19 pada bagian lengan pendek, dan yang paling sering dilaporkan adalah terjadi pada kromosom X. Pada skizofrenia kromososm-kromosom ini mengalami kelainan yaitu saat mengkode dapat terjadi kekacauan seprti translokasi.
d. Faktor Psikososial
1) Teori Psikoanalitik
Teori psikoanalitik mengemukakan bahwa gejala skizofrenia mempunyai arti simbolik bagi pasien individual. Misalnya, fantasi tentang dunia akan berakhir mungkin menyatakan suatu perasaan bahwa dunia internal seseorang telah mengalami kerusakan. Perasaan kebesaran dapat mencerminkan narsisme yang direaktivasi dimana orang percaya bahw amereka adalah maha kuasa.

2) Teori Psikodinamik
Dasar dari teori dinamia adalah untuk mengerti dinamika pasien dan untuk mengerti makna simbolik dari gejala. Teori ini menganggap bahwa hipersensitivitas terhadap stimuli persepsi yang didasarkansecara kontitusional sebagai suatu defisit. Pendekatan psikodinamika berdasar bahwa gejala psikotik punya arti pada skizofrenia.

3. Tanda dan Gejala Skizofrenia
Tanda dan gejala skizofrenia menurut Maslim (2000 : 46)
a. Though echo : isi pikiran dirinya yang berulang atau berguna dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama namun kualitasnya berbeda.
Though isertion atau withdrawl : isi pikiran asing dari luar masuk ke dalam pikirannya oelh sesuatu dari luar dirinya.
Thought broadcasting : isi pikirnya keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya.
b. Waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi (delsion of influence), waham ketidakberdayaan (delision of passivity), persepsi terhadap mistik (delusional perception).
c. Halusinasi
d. Waham menetap jenis lainnya , yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa.
e. Arus pikir yang terputus atau yang mengalami sisipan, ayng berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan.
f. Perilaku katatonik
g. Gejala-gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial.
h. Adanya suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam suatu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, sikap malas, sikap larut dalam diri sendiri, dan penarikan diri secara sosial.

Menurut Bleurer, gejala skizofrenia dibagi dua, yaitu :
a. Gejala primer
1) Gangguan proses pikir (bentuk, langkah, dan isi pikir)
2) Gangguan afek dan emosi
3) Gangguan memori
4) Gejala psiomotor / gejala katatonik gangguan perbuatan
b. Gejala sekunder
1) Waham
2) Halusinasi
4. Tipe-tipe Skizofrenia
Dalam PPDGJ III skizofrenia terbagi menjadi :
a. Skizofrenia Paranoid
b. Skizofrenia Hebefrenik
c. Skizofrenia Katatonik
d. Skizofrenia tak terinci
e. Defrresi pasca skizofrenia
f. Skizofrenia Residual
g. Skizofrenia Simplek
h. Skizofrenia lainnya
i. Skizofrenia tak tergolongkan
Dari sekian banyak tipe skizofrenia, ada studi kasus ini akan dibahas lebih lanjut mengenai Skizofrenia Hebefrenik.
1) Pengertian
Skizofrenia Hebefrenik adalah permulaannya perlahan-lahan atau subakut, sering timbul pada masa remaja (antara 15-25), gejala yang dominan adalah ganguan proses pikir, gangguan kemauan, adanya defersonalisasi, gangguan psikomotor, neologisme, atau perilaku kekanak-kanakan, waham dan halusinasi.
2) Tanda dan Gejala
a) Reaksi sikap dan tingkah laku yang tidak logis, suka tertawa-tawa, kemudian menangis, sangat irritable atau muah tersinggung sering disertai sendirian dan penuh kemarahan.
b) Terjadi kemundura psikis, kekanak-kanakan, perasaan tumpul dan tidak logis.
c) Pikiran melantur, muka (grimasem) tanpa aa stimulus, halusinasi.
d) Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti apa maksudnya, hal ini dapat dilihat dari kata-kata yang diucapkan tidak ada hubungannya satu dengan yang lain.
e) Alam perasaaan (mood affect) yang datar tanpa ekspresi serta yang menunjukan rasa puas diri, atau senyum yang hanya dihayati sendiri.
f) Waham tidak jelas dan tidak sistematis (terpecah-pecah) tidak terorganisir sebagai suatu kekuatan.
3) Pedoman Diagnostik
Skizofrenia Hebefrenik (PPDGJ III, Kode F 20.1)
a) Memenuhi kriteria umum diagnosa skizofrenia
b) Ditegakan pada usia remaja atau dewasa muda (15-25 tahun)
c) Kepribadian premorbid menunjukan ciri-ciri khas pemalu dan senang menyendiri.
Untuk meyakinkan diperlukan pengamatan selama 2-3 bulan untuk memastikan gambaran lihat yang bertahan, antara lain perilaku yang tidak bertanggungjawab dan tidak dapat di ramalkan, kecenderungan untuk selalu menyendiri, dan perilaku tanpa tujuan dan perasaan :
– Afek dangkal dan tidak wajar
– Proses fikir mengalami disorganisasi dan topik pembicaraan tidak menentu (inkoheren)
– Gangguan afektif dan dorongan kehendak serta gangguan proses pikir umumnya menonjol. Halusinasi dan waham biasanya ada tetapi tidak menonjol.

B. Konsep Dasar Halusinasi
1. Pengertian
Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan atau stimulus.
( Hawari, 1996: 289 ). Pengertian lain mengemukakan bahwa halusinasi merupakan penginderaan tanpa sumber rangsangan eksternal. Hal ini desebabkan oleh distorsi atau ilusi yang merupakan tanggapan yang salah dari rangsangan yang nyata ada. Pasien merasakan halusinasi sebagai sesuatu yang amat nyata, paling tidak untuk suatu saat tertentu. ( Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat: 267 ).
Halusinasi pendengaran adalah individu mendengar suara – suara atau bisikan – bisikan padahal tidak ada sumber dari suara atau bisikan itu. ( Hawari, 1996: 289 ).


FAKTOR PENYEBAB DAN PROSES TERJADINYA GANGGUAN JIWA SKIZOFRENIA SEBAGI BENTUK GANGGUAN JIWA

Skizofrenia merupakan bahasan yang menarik perhatian pada konferensi tahunan “The American Psychiatric Association/APA” di Miami, Florida, Amerika Serikat, Mei 1995 lalu. Sebab di AS angka pasien skizofrenia cukup tinggi (lifetime prevalance rates) mencapai 1/100 penduduk. Sebagai perbandungan, di Indonesia bila pada PJPT I angkanya adalah 1/1000 penduduk maka proyeksinya pada PJPT II, 3/1000 penduduk, bahkan bisa lebih besar lagi. Berdasarkan data di AS (1) Setiap tahun terdapat 300.000 pasien skizofrenia mengalami episode akut; (2) Prevalensi skizofrenia lebih tinggi dari penyakit Alzheimer, multipel skelosis, pasien diabtes yang memakai insulin, dan penyakit otot (muscular dystrophy); (3) 20%-50% pasien skizofrenia melakukan percobaan bunuh diri, dan 10% di antaranya berhasil (mati bunuh diri); (4) angka kematian pasien skizofrenia 8 kali lebih tinggi dari angka kematian penduduk pada umumnya. FAKTOR PENYEBAB SKIZOFRENIA Hingga sekarang belum ditemukan penyebab (etilogi) yang pasti mengapa seseorang menderita skizofrenia, padahal orang lain tidak. Ternyata dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan tidak ditemukan faktor tunggal. Penyebab skizofrenia menurut penelitian mutakhir antara lain : 1. Faktor genetik; 2. Virus; 3. Auto antibody; 4. Malnutrisi. Sejauh manakah peran genetik pada skizofrenia ? Dari penelitian diperoleh gambaran sebagai berikut : (1) Studi terhadap keluarga menyebutkan pada orang tua 5,6%, saudara kandung 10,1%; anak-anak 12,8%; dan penduduk secara keseluruhan 0,9%. (2) Studi terhadap orang kembar (twin) menyebutkan pada kembar identik 59,20%; sedangkan kembar fraternal 15,2%. Penelitian lain menyebutkan bahwa gangguan pada perkembangan otak janin juga mempunyai peran bagi timbulnya skizofrenia kelak dikemudian hari. Gangguan ini muncul, misalnya, karena kekurangan gizi, infeksi, trauma, toksin dan kelainan hormonal. Penelitian mutakhir menyebutkan bahwa meskipuna ada gen yang abnormal, skizofrenia tidak akan muncul kecuali disertai faktor-faktor lainnya yang disebut epigenetik faktor. Kesimpulannya adalah bahwa skizofrenia muncul bila terjadi interaksi antara abnormal gen dengan : (a) Virus atau infeksi lain selama kehamilan yang dapat menganggu perkembangan otak janin; (b) Menurunnya autoimun yang mungkin disebabkan infeksi selama kehamilan; (c) Komplikasi kandungan; dan (d) Kekurangan gizi yang cukup berat, terutama pada trimester kehamilan. Selanjutnya dikemukakan bahwa orang yang sudah mempunyai faktor epigenetik tersebut, bila mengalami stresor psikososial dalam kehidupannya, maka risikonya lebih besar untuk menderita skizofrenia dari pada orang yang tidak ada faktor epigenetik sebelumnya. PENYEBAB UMUM GANGGUAN JIWA Manusia bereaksi secara keseluruhan, secara holistik, atau dapat dikatakan juga, secara somato-psiko-sosial. Dalam mencari penyebab gangguan jiwa, maka ketiga unsur ini harus diperhatikan. Gangguan jiwa artinya bahwa yang menonjol ialah gejala-gejala yang patologik dari unsur psike. Hal ini tidak berarti bahwa unsur yang lain tidak terganggu. Sekali lagi, yang sakit dan menderita ialah manusia seutuhnya dan bukan hanya badannya, jiwanya atau lingkungannya. Hal-hal yang dapat mempengaruhi perilaku manusia ialah keturunan dan konstitusi, umur dan sex, keadaan badaniah, keadaan psikologik, keluarga, adat-istiadat, kebudayaan dan kepercayaan, pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan kematian orang yang dicintai, agresi, rasa permusuhan, hubungan antar amanusia, dan sebagainya. Tabel di bawah ini Taksiran kasar jumlah penderita beberapa jenis gangguan jiwa yang ada dalam satu tahun di Indonesia dengan penduduk 130 juta orang. Psikosa fungsional 520.000 Sindroma otak organik akut 65.000 Sindroma otak organik menahun 130.000 Retradasi mental 2.600.000 Nerosa 6.500.000 Psikosomatik 6.500.000 Gangguan kepribadian 1.300.000 Ketergantungan obat 1.000 17.616.000 Biarpun gejala umum atau gejala yang menonjol itu terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya mungkin di badan (somatogenik), dilingkungan sosial (sosiogenik) ataupun dipsike (psikogenik). Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi beberapa penyebab sekaligus dari berbagai unsur itu yang saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbullah gangguan badan ataupun jiwa. Umpamanya seorang dengan depresi, karena kurang makan dan tidur daya tahan badaniah seorang berkurang sehingga mengalami keradangan tenggorokan atau seorang dengan mania mendapat kecelakaan. Sebaliknya seorang dengan penyakit badaniah umpamanya keradangan yang melemahkan, maka daya tahan psikologiknya pun menurun sehingga ia mungkin mengalami depresi. Sudah lama diketahui juga, bahwa penyakit pada otak sering mengakibatkan gangguan jiwa. Contoh lain ialah seorang anak yang mengalami gangguan otak (karena kelahiran, keradangan dan sebagainya) kemudian menadi hiperkinetik dan sukar diasuh. Ia mempengaruhi lingkungannya, terutama orang tua dan anggota lain serumah. Mereka ini bereaksi terhadapnya dan mereka saling mempengaruhi. Sumber penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh faktor-faktor pada ketiga unsur itu yang terus menerus saling mempengaruhi, yaitu : 1. Faktor-faktor somatik (somatogenik) 1.1. Neroanatomi 1.2. Nerofisiologi 1.3. nerokimia 1.4. tingkat kematangan dan perkembangan organik 1.5. faktor-faktor pre dan peri – natal 2. Faktor-faktor psikologik ( psikogenik) : 2.1. Interaksi ibu –anak : normal (rasa percaya dan rasa aman) atau abnormal berdasarkan kekurangan, distorsi dan keadaan yang terputus (perasaan tak percaya dan kebimbangan) 2.2. Peranan ayah 2.3. Persaingan antara saudara kandung 2.4. inteligensi 2.5. hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan dan masyarakat 2.6. kehilangan yang mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu atau rasa salah 2.7. Konsep dini : pengertian identitas diri sendiri lawan peranan yang tidak menentu 2.8. Keterampilan, bakat dan kreativitas 2.9. Pola adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya 2.10. Tingkat perkembangan emosi 3. Faktor-faktor sosio-budaya (sosiogenik) 3.1. Kestabilan keluarga 3.2. Pola mengasuh anak 3.3. Tingkat ekonomi 3.4. Perumahan : perkotaan lawan pedesaan 3.5. Masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka dan fasilitas kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan yang tidak memadai 3.6. Pengaruh rasial dan keagamaan 3.7. Nilai-nilai 1. Faktor keturunan Pada mongoloisme atau sindroma Down (suatu macam retardasi mental dengan mata sipit, muka datar, telinga kecil, jari-jari pendek dan lain-lain) terdapat trisoma (yaitu tiga buah, bukan dua) pada pasangan Kromosoma No. 21. Sindroma Turner (dengan ciri-ciri khas : tubuh pendek, leher melebar, infantilisme sexual) ternyata berhubungan dengan jumlah kromosima sex yang abnormal. Gangguan yang berhubungan dengan kromosoma sex dikatakan “terikat pada sex” (“sex linked”), artinya bahwa efek genetik itu hanya terdapat pada kromosoma sex. Kaum wanita ternyata lebih kurang peka terhadap gangguan yang terikat pada sex, karena mereka mempunyai dua kromosoma X : bila satu tidak baik, maka yang lain biasanya akan melakukan pekerjaannya. Akan tetapi seorang pria hanya mempunyai satu kromosoma X dan satu kromosoma Y, dan bila salah satu tidak baik, maka terganggulah ia. Masih dipermasalahkan, betulkan pria dengan XYY lebih cenderung melakukan perbuatan kriminal yang kejam ? Tabel Penelitian saudara kembar dan saudara kandung yang salah satunya menderita skizofrenia Hubungan dengan pasien skizofrenia % yang menderita skizofrenia Kembar monozigot (satu telur) Kembar heterozigot (dua telur) Saudara kandung Saudara tiri Masyarakat umum 86,2 % 14,5 % 14,2 % 7,1 % 0,85% (Coleman, J.C : Abnormal Psychology and Modern life. Taraporevala Sons & Co., Bombay, 1970. hal. 121) 2. Faktor Konstitusi Konstitusi pada umumnya menunjukkan kepada keadaan biologik seluruhnya, termasuk baik yang diturunkan maupun yang didapati kemudian; umpamanya bentuk badan (perawakan), sex, temperamen, fungsi endoktrin daurat syaraf jenis darah Jelas bahwa hal-hal ini mempengaruhi perilaku individu secara baik ataupun tidak baik, umpamanya bentuk badan yang atletik atau yang kurus, tinggi badan yang terlalu tinggi ataupun terlalu pendek, paras muka yang cantrik ataupun jelek, sex wanita atau pria, fungsi hormonal yang seimbang atau yang berlebihan salah satu hormon, urat syaraf yang cepat reaksinya atau yang lambat sekali, dan seterusnya. Semua ini turut mempengaruhi hidup seseorang. Tabel : Faktor konstitusi dan perilaku abnormal Faktor konstitusi Hubungan dengan perkembangan abnormal Bentuk badan Tidak jelas peranannyua, tetapi disproporsi badaniah, kelemahan dan penampakan yang jelek umpamanya lebih sering berhubungan dengan gangguan jiwa daripada bentuk badan yang baik dan menarik Energi dan kegiatan Rupaya berhubungan dengan apakah individu mengembangkan reaksi yang agresif atau lebih menuju ke dalam terhadap stres, jadi lebih berhubungan dengan jenis gangguan jiwa yang timbul bila individu itu terganggu jiwanya Reaktivitas susunan syaraf vegetatif Reaktivitas emosional yang tinggi mungkin sekali berhubungan dengan realisasi berlebihan terhadap stres ringan dan pembentukan rasa takut yang tak perlu; reaktivitas emosional yang kurang, dapat mengakibatkan sosialisasi yang tidak sesual karena reaksi yang terlalu sedikit. Daya tahan badaniah Membantu menentukan toleransi stres biologik dan psikologik dan sistem organ apakah yang paling mudah terganggu. Ada individu yang sangat mudah terganggu sistem badaniahnya karena fungsi otaknya Sensitivitas (kepekaan) Menentukan sebagian dari jenis stres yang terhadapnya anak itu paling peka dan menentukan besarnya stres yang dapat ditahan tanpa gangguan jiwa; mempengaruhi cara anak menanggapi dunia. Kecerdasan dan bakat lain Mempengaruhi kesempatan anak untuk berhasil dal;am pertandingan/ persaingan sehingga mempengaruhi juga kepercayaan pada diri sendiri berdasarkan keberhasilan (Coleman, J.C : Abnormal Psychology and Modern life. Taraporevala Sons & Co., Bombay, 1970. hal. 126) 3. Cacat Kongenital Cacat kongenital atau sejak lahir dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak, terlebih yang berat, seperti retardasi mental yang brat. Akan tetapi pada umumnya pengaruh cacat ini pada timbulnya gangguan jiwa terutama tergantung pada individu itu, bagaimana ia menilai dan menyesuaikan diri terhadap keadaan hidupnya yang cacat atau berubah itu. Orang tua dapat mempersukar penyesuaian ini dengan perlindungan yang berlebihan (proteksi berlebihan). Penolakan atau tuntutan yang sudah di luar kemampuan anak. Singkatnya : kromosoma dan “genes” yang defektif serta banyak faktor lingkungan sebelum, sewaktu dan sesudah lahir dapat mengakibatkan gangguan badaniah. Cacat badaniah biasanya dapat dilihat dengan jelas,tetapi gangguan sistim biokimiawi lebih halus dan sukar ditentukan. Gangguan badaniah dapat mengganggu fungsi biologik atau psikologik secara langsung atau dapat mempengaruhi daya tahan terahdap stres. 4. Perkembangan Psikologik yang salah a. Ketidak matangan atau fixasi, yaitu inidvidual gagal berkembang lebih lanjut ke fase berikutnya; b. “Tempat-tempat lemah” yang ditinggalkan oleh pengalaman yang traumatik sebagai kepekaan terhadap jenis stres tertentu, atau c. disorsi, yaitu bila inidvidu mengembangkan sikap atau pola reaksi yang tidak sesuai atau gagal mencapai integrasi kepribadian yang normal. Kita akan membicarakan beberapa faktor dalam perkembangan psikologik yang tidak sehat 5. Deprivasi dini Deprivasi maternal atau kehilangan asuhan ibu di rumah sendiri, terpisah dengan ibu atau di asrama, dapat menimbulkan perkembangan yang abnormal. Deprivasi rangsangan umum dari lingkungan, bila sangat berat, ternyata berhubungan edngan retardasi mental. Kekurangan protein dalam makanan, terutama dalam jangka waktu lama sebelum anak breumur 4 tahun, dapat mengakibatkan retardasi mental. Eprivasi atau frustrasi dini dapat menimbulkan “tempat-tempat yang lemah” pada jiwa, dapat mengakibatkan perkembangan yang salah ataupun perkembangan yang berhenti. Untuk perkembangan psikologik rupanya ada “masa-masa gawat”. Dalam masa ini rangsangan dan pengalaman belajar yang berhubungan dengannya serta pemuasan berbagai kebutuhan sangat perlu bagi urut-urutan perkembangan intelektual, emosional dan sosial yang normalreaksi yang agresif atau lebih menuju ke dalam terhadap stres, jadi lebih berhubungan dengan jenis gangguan jiwa yang timbul bila individu itu terganggu jiwanya Reaktivitas susunan syaraf vegetatif Reaktivitas emosional yang tinggi mungkin sekali berhubungan dengan realisasi berlebihan terhadap stres ringan dan pembentukan rasa takut yang tak perlu; reaktivitas emosional yang kurang, dapat mengakibatkan sosialisasi yang tidak sesual karena reaksi yang terlalu sedikit. Daya tahan badaniah Membantu menentukan toleransi stres biologik dan psikologik dan sistem organ apakah yang paling mudah terganggu. Ada individu yang sangat mudah terganggu sistem badaniahnya karena fungsi otaknya Sensitivitas (kepekaan) Menentukan sebagian dari jenis stres yang terhadapnya anak itu paling peka dan menentukan besarnya stres yang dapat ditahan tanpa gangguan jiwa; mempengaruhi cara anak menanggapi dunia. Kecerdasan dan bakat lain Mempengaruhi kesempatan anak untuk berhasil dal;am pertandingan/ persaingan sehingga mempengaruhi juga kepercayaan pada diri sendiri berdasarkan keberhasilan (Coleman, J.C : Abnormal Psychology and Modern life. Taraporevala Sons & Co., Bombay, 1970. hal. 126) 3. Cacat Kongenital Cacat kongenital atau sejak lahir dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak, terlebih yang berat, seperti retardasi mental yang brat. Akan tetapi pada umumnya pengaruh cacat ini pada timbulnya gangguan jiwa terutama tergantung pada individu itu, bagaimana ia menilai dan menyesuaikan diri terhadap keadaan hidupnya yang cacat atau berubah itu. Orang tua dapat mempersukar penyesuaian ini dengan perlindungan yang berlebihan (proteksi berlebihan). Penolakan atau tuntutan yang sudah di luar kemampuan anak. Singkatnya : kromosoma dan “genes” yang defektif serta banyak faktor lingkungan sebelum, sewaktu dan sesudah lahir dapat mengakibatkan gangguan badaniah. Cacat badaniah biasanya dapat dilihat dengan jelas,tetapi gangguan sistim biokimiawi lebih halus dan sukar ditentukan. Gangguan badaniah dapat mengganggu fungsi biologik atau psikologik secara langsung atau dapat mempengaruhi daya tahan terahdap stres. 4. Perkembangan Psikologik yang salah a. Ketidak matangan atau fixasi, yaitu inidvidual gagal berkembang lebih lanjut ke fase berikutnya; b. “Tempat-tempat lemah” yang ditinggalkan oleh pengalaman yang traumatik sebagai kepekaan terhadap jenis stres tertentu, atau c. disorsi, yaitu bila inidvidu mengembangkan sikap atau pola reaksi yang tidak sesuai atau gagal mencapai integrasi kepribadian yang normal. Kita akan membicarakan beberapa faktor dalam perkembangan psikologik yang tidak sehat 5. Deprivasi dini Deprivasi maternal atau kehilangan asuhan ibu di rumah sendiri, terpisah dengan ibu atau di asrama, dapat menimbulkan perkembangan yang abnormal. Deprivasi rangsangan umum dari lingkungan, bila sangat berat, ternyata berhubungan edngan retardasi mental. Kekurangan protein dalam makanan, terutama dalam jangka waktu lama sebelum anak breumur 4 tahun, dapat mengakibatkan retardasi mental. Eprivasi atau frustrasi dini dapat menimbulkan “tempat-tempat yang lemah” pada jiwa, dapat mengakibatkan perkembangan yang salah ataupun perkembangan yang berhenti. Untuk perkembangan psikologik rupanya ada “masa-masa gawat”. Dalam masa ini rangsangan dan pengalaman belajar yang berhubungan dengannya serta pemuasan berbagai kebutuhan sangat perlu bagi urut-urutan perkembangan intelektual, emosional dan sosial yang normal 6. Pola keluarga yang petagonik Dalam masa kanak-kanak keluarga memegang peranna yang penting dalam pembentukan kepriadian. Hubungan orangtua-anak yang salah atau interaksi yang patogenik dalam keluarga sering merupakan sumber gangguan penyesuaian diri. Kadang-kadang orangtua berbuat terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak itu berkembang sendiri. Ada kalanya orangtua berbuat terlalu sedikit dan tidak merangsang anak itu atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya. Kadang-kadang mereka malahan mengajarkan anak itu pola-pola yang tidak sesuai. Akan tetapi pengaruh cara asuhan anak tergantung pada keadaan sosial secara keseluruhan dimana hal itu dilakukan. Dan juga, anak-anak bereaksi secara berlainan terhadap cara yang sama dan tidak semua akibat adalah tetapi kerusakan dini sering diperbaiki sebagian oleh pengalaman di kemudian hari. Akan tetapi beberapa jenis hubungan orangtua-anak sering terdapat dalam latar belakang anak-anak yang terganggu, umpamanya penolakan, perlindungan berlebihan, manja berlebihan, tuntutan perfeksionistik, standard moral yang kaku dan tidak realistik, disiplin yang salah, persaingan antar saudara yang tidak sehat, contoh orangtua yang salah, ketidak-sesuaikan perkawinan dan rumah tangganya yang berantakan, tuntutan yang bertentangan Tabel Beberapa sikap orangtua yang kurang bijaksana dan pengaruhnya terhadap anak. SIKAP ORANGTUA PENGARUH TERHADAP PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK DAN SIFAT ATAU SIKAP YANG MUNGKIN TIMBUL. 1. Melindungi anak secara berlebihan karena memanjanya Hanya memikirkan dirinya sendiri, hanya tidak menuntut saja, lekas berekcil hati, tidak tahan kekecewaan. Ingin menarik perhatian kepada dirinya sendiri. Kurang rasa bertanggung jawab. Cenderung menolak peraturan dan minta dikecualikan. 2. Melindungi anak secara berlebihan karena sikap “berkuasa” dan “harus tunduk saja” Kurang berani dalam pekerjaan, condong lekas menyerah. Bersikap pasif dan bergantung kepada orang lain. Ingin menjadi “anak emas” dan menerima saja segala perintah. 3. Penolakan (anak tidak disukai) Merasa gelisah dan diasingkan. Bersikap melawan orang tua dan mencari bantuan kepada orang lain. Tidak mampu memberi dan menerima kasih-sayang. 4. Menentukan norma- norma etika dan moral yang terlalu tinggi Menilai dirinya dan hal lain juga dengan norma yang terlalu keras dan tinggi. Sering kaku dan keras dalam pergaulan. Cenderung menjadi sempurna (“perfectionnism”) dengan cara yang berlebihan. Lekas merasa bersalah, berdosa dan tidak berarti. 5. Disiplin yang terlalu keras Menilai dan menuntut dari pada dirinya juga secara terlalu keras. Agar dapat meneruskan dan menyelesaikan sesuatu usaha dengan baik, diperlukannya sikap menghargai yang tinggi dari luar. 6. Disiplin yang tak teratur atau yang bertentangan Sikap anak terhadap nilai dan normapun tak teratur. Kurang tetap dalam menghadapi berbagai persoalan didorong kesana kemari antara berbagai nilai yang bertentangan. Perlu diingat bahwa hubungan orangtua-anak selalu merupakan suatu interaksi (saling mempengaruhi), bukanlah hanya pengaruh satu arah dari orangtua ke anak 7. Masa remaja Masa remaja dikenal sebagai masa gawat dalam perkembangan kepribadian, sebagai masa “badai dan stres”. Dalam masa ini inidvidu dihadpai dengan pertumbuhan yang cepat, perubahan- perubahan badaniah dan pematangan sexual. Pada waktu yang sama status sosialnya juga mengalami perubahan, bila dahulu ia sangat tergantung kepada orangtuanya atau orang lain, sekarang ia harus belajar berdiri sendiri dan bertanggung jawab yang membawa dengan sendirinya masalah pernikahan, pekerjaan dan status sosial umum. Kebebasan yang lebih besar membawa tanggung jawab yang lebih besar pula. Perubahan-perubahan ini mengakibatkan bawha ia harus mengubah konsep tentang diri sendiri. Tidak jarang terjadi “krisis identitas” (Erikson, 1950). Ia hasu memantapkan dirinya sebagai seorang individu yang berkepribadian lepas dari keluarganya, ia harus menyelesaikan masalah pendidikan, pernikahan dan kehidupan dalam masyarakat. Bila ia tidak dibekali dengan pegangan hidup yang kuat, maka ia akan mengalami “difusi identitas”, yaitu ia bingung tentang “apakah sbenarnya ia ini” dan “buat apakah sebebarnya hidup ini”. Sindroma ini disebut juga “anomi”, remaja itu merasa terombang ambing, terapung-apung dalam hidup ini tanpa tujuan tertentu. Banyak remaja sebenarnya tidak membernontak, akan tetapi hanya sekedar sedang mencari arti dirinya sendiri serta pegangan hidup yang berarti bagi mereka. Hal “badai dan stres” bagi kaum remaja ini sebagian besar berakar pada struktur sosial suatu masyarakat. Ada masyarakat yang membantu para remaja ini dengan adat-istiadatnya sehingga masa remaja dilalui tanpa gangguan emosional yang berarti. Kebanyakan kebutuhan kita hanya dapat diperoleh melalui hubungan dengan orang-orang lain. Jadi cara kita berhubungan dengan orang lain sangat mempengaruhi kepuasan hidup kita. Kegagalan untuk mengadakan hubungan antar manusia yang baik mungkin berasal dari dan mengakibatkan juga kekurang partisipasi dalam kelompok dan kekurangan identifikasi dengan kelompok dan konformitas (persesuaian) yang berlebihan dengan norma-norma kelompok (seperti dalam “gang” atau perkumpulan-perkumpulan rahasia para remaja). Secara garis besar dapat dikatakan bahwa kemampuan utama dalam hidup dan dalam menyesuaikan diri memerlukan “penerapan” tentang beberapa masalah utama dalam hidup, seperti pernikahan, ke-orangtua-an, pekerjaan dan hari tua. Di samping kemampuan umum ini dalam bidang badaniah, emosional, sosial dan intelektual, kita memerlukan persiapan bagi masalah. Masalah khas yang mungkin sekali akan dihadapi dalam berbagai masa hidup kita. 8. Faktor sosiologik dalam perkembangan yang salah Alfin Toffler mengemukakan bahwa yang paling berbahaya di zaman modern, di negara-negara dengan “super-industrialisasi”, ialah kecepatan perubahan dan pergantian yang makin cepat dalam hal “ke-sementara-an” (“transience”), “ke-baru-an” (“novelty”) dan “ke-aneka-ragaman” (“diversity”). Dengan demikian individu menerima rangsangan yang berlebihan sehingga kemungkinan terjadinya kekacuan mental lebih besar. Karena hal ini lebih besar kemungkiannya dalam masa depan, maka dinamakannya “shok masa depan” (“future shock”). Telah diketahui bahwa seseorang yang mendadak berada di tengah-tengah kebudayaan asing dapat mengalami gangguan jiwa karena pengaruh kebudayaan ini yang serba baru dan asing baginya. Hal ini dinamakan “shock kebudayaan” (“culture shock”). Seperti seorang inidvidu, suatu masyarakat secara keseluruhan dapat juga berkembang ke arah yang tidak baik. Hal ini dapat dipengaruhi oleh lingkungan fisik (umpamanya daerah yang dahulu subur berubah menjadi tandus) ataupun oleh keadaan sosial masyarakat itu sendiri (umpanya negara dengan pimpinan diktatorial, diskriminasi rasial.religius yang hebat, ketidak-adilan sosial, dan sebagainya). Hal-hal ini merendahkan daya tahan frustasi seluruh masyarakat (kelompok) dan menciptakan suasana sosial yang tidak baik sehingga para anggotanya secara perorangan dapat menjurus ke gangguan mental. Faktor-faktor sosiokultural membentuk, baik macam sikap individu dan jenis reaksi yang dikembangkannya, maupun jenis stres yang dihadapinya. 9. Genetika : Menurut Cloninger, 1989 gangguan jiwa; terutama gangguan persepsi sensori dan gangguan psikotik lainnya erat sekali penyebabnya dengan faktor genetik termasuk di dalamnya saudara kembar, atau anak hasil adopsi. Individu yang memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan lebih tinggi dibanding dengan orang yang tidak memiliki faktor herediter. Individu yang memiliki hubungan sebagai ayah, ibu, saudara atau anak dari klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan 10 %, sedangkan keponakan atau cucu kejadiannya 2-4 %. Individu yang memiliki hubungan sebagai kembar identik dengan klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan 46-48 %, sedangkan kembar dizygot memiliki kecenderungan 14-17 %. Faktor genetik tersebut sangat ditunjang dengan pola asuh yang diwariskan sesuai dengan pengalaman yang dimiliki oleh anggota keluarga klien yang mengalami gangguan jiwa. 10. Neurobiological Menurut Konsep Neurobiological gangguan jiwa sangat berkaitan dengan keadaan struktur otak sebagai berikut : Abnormalities in the structure of the brain or in its activity in specific locations can cause or contribute to psychiatric disorders. For example, a communication problem in one small part of the brain can cause widespread dysfunction. It is also known that the following network of nuclei that control cognitive, behavioral, and emotional functioning ae particularly implicated in psychiatric disorders :  The cerebral cortex, which is critical in decision making and higher-order thinking, such as abstract reasoning.  The limbic system, which is involved in regulating emotional behavior, memory, and learning.  The basal ganglia, some of which coordinate movement  The hypothalamus, which regulates hormones through out the body and behaviors such as eating, drinking, and sex.  The locus ceruleus, which manufactures neurons, which regulate sleep and are involved with behavior and mood.  The substantia nigra, dopamine-producing cells involved in the control of complex movement, thinking, and emotional responses. Klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki ciri-ciri biologis yang khas terutama pada susunan dan struktur syaraf pusat, biasanya klien mengalami pembesaran ventrikel ke III sebelah kirinya. Ciri lainnya terutama adalah pada klien yang mengalami Schizofrenia memiliki lobus frontalis yang lebih kecil dari rata-rata orang yang normal (Andreasen, 1991). Menurut Candel, Pada klien yang mengalami gangguan jiwa dengan gejala takut serta paranoid (curiga) memiliki lesi pada daerah Amigdala sedangkan pada klien Schizofrenia yang memiliki lesi pada area Wernick’s dan area Brocha biasanya disertai dengan Aphasia serta disorganisasi dalam proses berbicara (Word salad). Adanya Hiperaktivitas Dopamin pada klien dengan gangguan jiwa seringkali menimbulkan gejala-gejala Schizofrenia. Menurut hasil penelitian, neurotransmitter tertentu seperti Norepinephrine pada klien gangguan jiwa memegang peranan dalam proses learning, Memory reiforcement, Siklus tidur dan bangun, kecemasan, pengaturan aliran darah dan metabolisme. Neurotransmitter lain berfungsi sebagai penghambat aktivasi dopamin pada proses pergerakan yaitu GABA.(Gamma Amino Butiric Acid). Menurut Singgih gangguan mental dan emosi juga bisa disebabkan oleh perkembangan jaringan otak yang tidak cocok (Aplasia). Kadang-kadang seseorang dilahirkan dengan perkembangan cortex cerebry yang kurang sekali, atau disebut sebagai otak yang rudimenter (Rudimentary Brain). Contoh gangguan tersebut terlihat pada Microcephaly yang ditandai oleh kecilnya tempurung otak. Adanya trauma pada waktu kelahiran, tumor, Infeksi otak seperti Enchepahlitis Letargica, gangguan kelenjar endokrin seperti thyroid, keracunan CO (carbon Monoxide)serta perubahan-perubahan karena degenerasi yang mempengaruhi sistem persyarafan pusat. 11. Biokimiawi tubuh Biochemistry. Several brain chemicals have been implicated in schizophrenia, but research to date points most strongly the following :  AN excess of the neurotransmitter dopamine.  An imbalance between dopamine and other neurotransmitters, particularly serotonin.  Problems in the dopamine receptor systems several research strategies support the role of dopamine in schizophrenia. For instance, drugs that increase levels of dopamine in the brain can produce psychosis. Drugs that reduce dopamine function have antipsychotic effects as well. This is seen in the antipsychotic drugs that reduce the number of postsynaptic receptors that interact with dopamine. Birth Events. Many attempts have been made to study the influences of maternal nutrition, infection, placental insufficiency, anoxia, hemorrhage, and trauma before at birth as possible causes of schizophrenia. 12. Neurobehavioral Kerusakan pada bagian-bagian otak tertentu ternyata memegang peranan pada timbulnya gejala-gejala gangguan jiwa, misalnya:  Kerusakan pada lobus frontalis: menyebabkan kesulitan dalam proses pemecahan masalah dan perilaku yang mengarah pada tujuan, berfikir abstrak, perhatian dengan manifestasi gangguan psikomotorik.  Kerusakan pada Basal Gangglia dapat menyebabkan distonia dan tremor  Gangguan pada lobus temporal limbic akan meningkatkan kewaspadaan, distractibility, gangguan memori (Short time). 13. Stress : Stress psikososial dan stress perkembangan yang terjadi secara terus menerus dengan koping yang tidak efektif akan mendukung timbulnya gejala psikotik dengan manifestasi; kemiskinan, kebodohan, pengangguran, isolasi sosial, dan perasaan kehilangan. Menurut Singgih (1989:184), beberapa penyebab gangguan mental dapat ditimbulkan sebagai berikut : a. Prasangka orang tua yang menetap, penolakan atau shock yang dialami pada masa anak. b. Ketidak sanggupan memuasakan keinginan dasar dalam pengertian kelakuan yang dapat diterima umum. c. Kelelahan yang luar biasa, kecemasan, anxietas, kejemuan d. Masa-masa perubahan fisiologis yang hebat : Pubertas dan menopause e. Tekanan-tekanan yang timbul karena keadaan ekonomi, politik dan sosial yang terganggu f. Keadaan iklim yang mempengaruhi Exhaustion dan Toxema g. Penyakit kronis misalnya; shifilis, AIDS h. Trauma kepala dan vertebra i. Kontaminasi zat toksik j. Shock emosional yang hebat : ketakutan, kematian tiba-tiba orang yang dicintai. 14. Penyalah gunaan obat-obatan : Koping yang maladaptif yang digunakan individu untuk menghadapi strsessor melalui obat-obatan yang memiliki sipat adiksi (efek ketergantungan) seperti Cocaine, amphetamine menyebabkan gangguan persefsi, gangguan proses berfikir, gangguan motorik dsb. 15. Psikodinamik : Menurut Sigmund Freud adanya gangguan tugas pekembangan pada masa anak terutama dalam hal berhubungan dengan orang lain sering menyebabkan frustasi, konflik, dan perasaan takut, respon orang tua yang maladaptif pada anak akan meningkatkan stress, sedangkan frustasi dan rasa tidak percaya yang berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan regresi dan withdral. Disamping hal tersebut di atas banyak faktor yang mendukung timbulnya gangguan jiwa yang merupakan perpaduan dari beberapa aspek yang saling mendukung yang meliputi Biologis, psikologis, sosial, lingkungan (environmental). Tidak seperti pada penyakit jasmaniah, sebab-sebab gangguan jiwa adalah kompleks. Pada seseorang dapat terjadi penyebab satu atau beberapa faktor dan biasanya jarang berdiri sendiri. Mengetahui sebab-sebab gangguan jiwa penting untuk mencegah dan mengobatinya. Umumnya sebab-sebab gangguan jiwa dibedakan atas : a. Sebab-sebab jasmaniah/ biologik b. Sebab-sebab kejiwaan/ psikologik c. Sebab-sebab yang berdasarkan kebudayaan. well. This is seen in the antipsychotic drugs that reduce the number of postsynaptic receptors that interact with dopamine. Birth Events. Many attempts have been made to study the influences of maternal nutrition, infection, placental insufficiency, anoxia, hemorrhage, and trauma before at birth as possible causes of schizophrenia. 12. Neurobehavioral Kerusakan pada bagian-bagian otak tertentu ternyata memegang peranan pada timbulnya gejala-gejala gangguan jiwa, misalnya:  Kerusakan pada lobus frontalis: menyebabkan kesulitan dalam proses pemecahan masalah dan perilaku yang mengarah pada tujuan, berfikir abstrak, perhatian dengan manifestasi gangguan psikomotorik.  Kerusakan pada Basal Gangglia dapat menyebabkan distonia dan tremor  Gangguan pada lobus temporal limbic akan meningkatkan kewaspadaan, distractibility, gangguan memori (Short time). 13. Stress : Stress psikososial dan stress perkembangan yang terjadi secara terus menerus dengan koping yang tidak efektif akan mendukung timbulnya gejala psikotik dengan manifestasi; kemiskinan, kebodohan, pengangguran, isolasi sosial, dan perasaan kehilangan. Menurut Singgih (1989:184), beberapa penyebab gangguan mental dapat ditimbulkan sebagai berikut : a. Prasangka orang tua yang menetap, penolakan atau shock yang dialami pada masa anak. b. Ketidak sanggupan memuasakan keinginan dasar dalam pengertian kelakuan yang dapat diterima umum. c. Kelelahan yang luar biasa, kecemasan, anxietas, kejemuan d. Masa-masa perubahan fisiologis yang hebat : Pubertas dan menopause e. Tekanan-tekanan yang timbul karena keadaan ekonomi, politik dan sosial yang terganggu f. Keadaan iklim yang mempengaruhi Exhaustion dan Toxema g. Penyakit kronis misalnya; shifilis, AIDS h. Trauma kepala dan vertebra i. Kontaminasi zat toksik j. Shock emosional yang hebat : ketakutan, kematian tiba-tiba orang yang dicintai. 14. Penyalah gunaan obat-obatan : Koping yang maladaptif yang digunakan individu untuk menghadapi strsessor melalui obat-obatan yang memiliki sipat adiksi (efek ketergantungan) seperti Cocaine, amphetamine menyebabkan gangguan persefsi, gangguan proses berfikir, gangguan motorik dsb. 15. Psikodinamik : Menurut Sigmund Freud adanya gangguan tugas pekembangan pada masa anak terutama dalam hal berhubungan dengan orang lain sering menyebabkan frustasi, konflik, dan perasaan takut, respon orang tua yang maladaptif pada anak akan meningkatkan stress, sedangkan frustasi dan rasa tidak percaya yang berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan regresi dan withdral. Disamping hal tersebut di atas banyak faktor yang mendukung timbulnya gangguan jiwa yang merupakan perpaduan dari beberapa aspek yang saling mendukung yang meliputi Biologis, psikologis, sosial, lingkungan (environmental). Tidak seperti pada penyakit jasmaniah, sebab-sebab gangguan jiwa adalah kompleks. Pada seseorang dapat terjadi penyebab satu atau beberapa faktor dan biasanya jarang berdiri sendiri. Mengetahui sebab-sebab gangguan jiwa penting untuk mencegah dan mengobatinya. Umumnya sebab-sebab gangguan jiwa dibedakan atas : a. Sebab-sebab jasmaniah/ biologik b. Sebab-sebab kejiwaan/ psikologik c. Sebab-sebab yang berdasarkan kebudayaan. Penolakan orang tua pada masa ini, yang mendalam atau ringan, akan menimbulkan rasa tidak aman dan ia akan mengembangkan cara penyesuaian yang salah, dia mungkin menurut, menarik diri atau malah menentang dan memberontak.  Perlindungan yang berlebihan Menunjukkan anak atau memaksakan kehendak/ mengatur dalam segala hal, mengakibatkan kepribadian sianak tidak berkembang secara wajar waktu dewasa, memiliki krpribadian yang mantap, cenderung mementingkan diri sendiri dan akibatnya kurang berhasil sebagai orang tua.  Perkawinan tak harmonis dan kehancuran rumah tangga Anak tidak mendapat kasih sayang. Tidak dapat menghayati disiplin tak ada panutan, pertengkaran dan keributan membingungkan dan menimbulkan rasa cemas serta rasa tidak aman. hal-hal ini merupakan dasar yang kuat untuk timbulnya tuntutan tingkah laku dan gangguan kepribadian pada anak dikemudian hari.  Otoritas dan Disiplin Disiplin diberikan sesuai dengan kemampuan dan tingkat kematangan anak, diberikan dengan cara yang baik, tegas dan konsisten, sehingga anak menerima sebagai hal yang wajar. Disiplin yang diluar kemampuan sianak, dipaksakan, dengan cara yang keras dan kaku, menyebabkan anak akan melawan memberontak atau menuntut berlebihan. Sebaliknya disiplin yang tidak tegas secara mental, latihan yang keras, akan menyebabkan rasa cemas, rasa tidak aman dan kemudian hari mungkin menjadi nakal, keras kepala dan selalu ingin kesempurnaan (perfeksionis).  Perkembangan seksual Pendekatan yang sehat, kesediaan untuk memberi jawaban secara jelas, terus terang, wajar dan objektif terhadap masalah seksual pada anak akan mengembangkan sikap yang positif. Reaksi orang tua yang menyebabkan anak menganggap sek adalah tabu, menjijikan, memalukan dan sebagainya akan merupakan awal kesulitan seksual dikemudian hari.  Agresi dan cara permusuhan Merupakan hal yang wajar seorang anak akan mengembangkan pola-pola yang berguna. Pengawasan yang berlebihan, menyebabkan anak akan mengekang, sehingga timbul tingkah laku yang mengganggu. Agresi dan permusuhan yang diterima anak akan menyebabkan sikap defens dan mau menag sendiri. Sedangkan sikap yang longgar akan menyebabkan anak menjadi nakal dan terbiasa dengan perbuatan-perbuatan yang mengganggu ketertiban.  Hubungan kakak-adik Persaingan yang sehat antara adik – kakak merupakan hal yang wajar dan menjadi dasar untuk tumbuh dan berkembang secara baik. Persaingan yang tidak sehat dan berlebihan (pilih kasih, menghukun tanpa meneliti, prasangka, kompensasi berlebihan dan sebagainya) akan merupakan dasar terbentuknya sifat –sifat yang merugikan. orang tua harus besikap dan menjadi penengah bagi anak-abaknya. Jangan menjadi pendorong timbulnya persaingan tidak sehat ini.  Kekecewaan dan pengalaman yang menyakitkan. Kematian, kecelakaan, sakit berat, penceraian, perpindahan yang mendadak, kekecewaan yang berlarut-larut dan sebagainya akan mempengaruhi perkembangan kepribadian, tapi juga tergantung pada keadaan sekitarnya (orang, lingkungan atau suasana saat itu) apakah mendukung atau mendorong dan juga tergantung pada pengalamannya dalam menghadapi masalah tersebut. c. Masa Anak sekolah Masa ini ditandai oleh pertumbuhan jasmaniah dan intelektual yang pesat. Pada masa ini, anak mulai memperluas lingkungan pergaulannya. Keluar dari batas-batas keluarga. Masalah-masalahn penting yang timbul :  Perkembangan jasmani Kekurangan atau cacat jasmaniah dapat menimbulkan gangguan penyesuaian diri. Dalam hal ini sikap lingkungan sangat berpengaruh, anak mungkin menjadi rendah diri atau sebaliknya melakukan komprensasi yang positif atau komprensasi negatif.  Penyesuaian diri di sekolah dan sosialisasi Sekolah adalah tempat yang baik untuk seorang anak mengembangkan kemampuan bergaul dan memperluas sosialisasi, menguji kemampuan, dituntut prestasi, mengekang atau memaksakan kehendaknya meskipun tak disukai oleh si anak. d. Masa Remaja Secara jasmaniah, pada masa ini terjadi perubahan-perubahan yang penting yaitu timbulnya tanda-tanda sekunder (ciri-ciri diri kewanitaan atau kelaki-lakian) Sedang secara kejiwaan, pada masa ini terjadi pergolakan pergolakan yang hebat. pada masa ini, seorang remaja mulai dewasa mencoba kemampuannya, disuatu fihak ia merasa sudah dewasa (hak-hak seperti orang dewasa), sedang dilain fihak belum sanggup dan belum ingin menerima tanggung jawab atas semua perbuatannya. Egosentrik bersifat menetang terhadap otoritas, senang berkelompok, idealis adalah sifat-sifat yang sering terlihat. Suatu lingkungan yang baik dan penuh pengertian akan sangat membantu proses kematangan kepribadian di usia remaja. e. Masa Dewasa muda Seorang yang melalui masa-masa sebelumnya dengan aman dan bahagia akan cukup memiliki kesanggupan dan kepercayaan diri dan umumnya ia akan berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan pada masa ini. Sebaliknya yang mengalami banyak gangguan pada masa sebelumnya, bila mengalami masalah pada masa ini mungkin akan mengalami gangguan-gangguan jiwa. Masalah-masalah yang penting pada masa ini adalah :  Hubungan dengan lawan jenis Masa ini dimulai dari masa pacaran, menikah dan menjadi orang tua beberapa faktor yang mungkin menyulitkan suatu perkawinan :  Perasaan takut dan bersalah mengenai perkawinan dan kehamilan  Perasaan takut untuk berperan sebagai orang tua ketidak sanggupan mempunyaai anak  Perbedaan harapan akan berperan masing-masing (tak ada penyesuaian baru dalam tingkah laku / berpikir)  Masalah-masalah keuangan  Gangguan-gangguan dari keluarga  Pemilihan dan penyesuaian pekerjaan Pekerjaan sebaiknya dipilih berdasar bakat dan minat sendiri pemilihan yang semata-mata dipaksa / disuruh / kompensasi atau karena “kesempatan dan kemudahan” sering mempermudah gangguan penyesuaian dalam pekerjaan. Gangguan berupa rasa malas, sering bolos, timbul bermacam keluhan jasmani (sering sakit) sering mengalami kecelakaan dalam pekerjaan dan terlihat ketegangan-ketegangan dalam keluarga karena jadi pemarah dan mudah tersinggung. f. Masa dewasa tua Sebagai patokan masa ini dicapai kalau status pekerjaan dan sosial seseorang sudah mantap. Masalah-masalah yang mungkin timbul :  Menurunnya keadaan jasmaniah  Perubahan susunan keluarga (berumah tangga, bekerjan) maka orang tua sering kesepian  Terbatasnya kemungkinan perubahan-perubahan yang baru dalam bidang pekerjaan atau perbaikan kesalahan yang lalu.  Penurunan fungsi seksual dan reproduksi, Sebagian orang berpendapat perubahan ini sebagai masalah ringan seperti rendah diri. pesimis. Keluhan psikomatik sampai berat seperti murung, kesedihan yang mendalam disertai kegelisahan hebat dan mungkin usaha bunuh diri. g. Masa Tua Ada dua hal yang penting yang perlu diperhatikan pada masa ini Berkurangnya daya tanggap, daya ingat, berkurangnya daya belajar, kemampuan jasmaniah dan kemampuan sosial ekonomi menimbulkan rasa cemas dan rasa tidak aman serta sering mengakibatkan kesalah pahaman orang tua terhadap orang dilingkungannya.Perasaan terasing karena kehilangan teman sebaya keterbatasan gerak dapat menimbulkan kesulitan emosional yang cukup hebat. 18. Sebab sosio kultural Kebudayaan secara teknis adalah ide atau tingkah laku yang dapat dilihat maupun yang tidak terlihat. Faktor budaya bukan merupakan penyebab langsung menimbulkan gangguan jiwa, biasanya terbatas menentukan “warna” gejala-gejala. Disamping mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian seseorang misalnya melalui aturan-aturan kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaan tersebut. Beberapa faktor-faktor kebudayaan tersebut :  Cara-cara membesarkan anak Cara-cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter , hubungan orang tua anak menjadi kaku dan tidak hangat. Anak-anak setelah dewasa mungkin bersifat sangat agresif atau pendiam dan tidak suka bergaul atau justru menjadi penurut yang berlebihan.  Sistem Nilai Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan yang satu dengan yang lain, antara masa lalu dengan sekarang sering menimbulkan masalah-masalah kejiwaan. Begitu pula perbedaan moral yang diajarkan dirumah / sekolah dengan yang dipraktekkan di masyarakat sehari-hari. Kepincangan antar keinginan dengan kenyataan yang ada Iklan-iklan diradio, televisi. Surat kabar, film dan lain-lain menimbulkan bayangan-bayangan yang menyilaukan tentang kehidupan modern yang mungkin jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Akibat rasa kecewa yang timbul, seseorang mencoba mengatasinya dengan khayalan atau melakukan yang merugikan masyarakat. Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi Dalam masyarakat modern kebutuhan makin meningkat dan persaingan makin meningkat dan makin ketat untuk meningkatkan ekonomi hasil-hasil teknologi modern. Memacu orang untuk bekerja lebih keras agar dapat memilikinya. Jumlah orang yang ingin bekerja lebih besar dari kebutuhan sehingga pengangguran meningkat, demikian pula urbanisasi meningkat, mengakibatkan upah menjadi rendah. Faktor-faktor gaji yang rendah, perumahan yang buruk, waktu istirahat dan berkumpul dengan keluarga sangat terbatas dan sebagainya merupakan sebagian mengakibatkan perkembangan kepribadian yang abnormal. Perpindahan perpindahan kesatuan keluarga Khusus untuk anak yang sedang berkembang kepribadiannya, perubahan-perubahan lingkungan (kebudayaan dan pergaulan). Hal ini cukup mengganggu. Masalah golongan minoritas Tekanan-tekanan perasaan yang dialami golongan ini dari lingkungan dapat mengakibatkan rasa pemberontakan yang selanjutnya akan tampil dalam bentuk sikap acuh atau melakukan tindakan-tindakan akan yang merugikan orang banyak. B. PROSES PERJALANAN PENYAKIT ; Gejala mulai timbul biasanya pada masa remaja atau dewasa awal sampai dengan umur pertengahan dengan melalui beberapa fase antara lain : 1. Fase Prodomal  Berlangsung antara 6 bula sampai 1 tahun  Gangguan dapat berupa Self care, gangguan dalam akademik, gangguan dalam pekerjaan, gangguan fungsi sosial, gangguan pikiran dan persepsi. 2. Fase Aktif  Berlangsung kurang lebih 1 bulan  Gangguan dapat berupa gejala psikotik; Halusinasi, delusi, disorganisasi proses berfikir, gangguan bicara, gangguan perilaku, disertai kelainan neurokimiawi 3. Fase Residual  Kien mengalami minimal 2 gejala; gangguan afek dan gangguan peran, serangan biasanya berulang. C. TAHAPAN HALUSINASI DAN DELUSI YANG BIASA MENYERTAI GANGGUAN JIWA Menurut Janice Clack,1962 klien yang mengalami gangguan jiwa sebagian besar disertai Halusinasi dan Delusi yang meliputi beberapa tahapan antara lain : 1. Tahap Comforting : Timbul kecemasan ringan disertai gejala kesepian, perasaan berdosa, klien biasanya mengkompensasikan stressornya dengan coping imajinasi sehingga merasa senang dan terhindar dari ancaman. 2. Tahap Condeming : Timbul kecemasan moderate , cemas biasanya makin meninggi selanjutnya klien merasa mendengarkan sesuatu, klien merasa takut apabila orang lain ikut mendengarkan apa-apa yang ia rasakan sehingga timbul perilaku menarik diri (With drawl) 3. Tahap Controling : Timbul kecemasan berat, klien berusaha memerangi suara yang timbul tetapi suara tersebut terus-menerus mengikuti, sehingga menyebabkan klien susah berhubungan dengan orang lain. Apabila suara tersebut hilang klien merasa sangat kesepian/sedih. 4. Tahap Conquering : Klien merasa panik , suara atau ide yang datang mengancam apabila tidak diikuti perilaku klien dapat bersipat merusak atau dapat timbul perilaku suicide. D. PSIKOPATOLOGI DAN PATOFISIOLOGI Perubahan-perubahan apakah yang terjadi pada susunan saraf pusat (otak) pasien skizofrenia ? Penelitian mutakhir menyebutkan bahwa perubahan-perubahan pada neurotransmiter dan resptor di sel-sel saraf otak (neuron) dan interaksi zat neurokimia dopamin dan serotonin, ternyata mempengaruhi alam pikir, perasaan, dan perilaku yang menjelma dalam bentuk gejala-gejala positif dan negatif skizofrenia. Selain perubahan-perubahan yang sifatnya neurokimiawi di atas, dalam penelitian dengan menggunakan CT Scan otak, ternyata ditemukan pula perubahan pada anatomi otak pasien, terutama pada penderita kronis. Perubahannya ada pada pelebaran lateral ventrikel, atrofi korteks bagian depan, dan atrofi otak kecil (cerebellum). REFERENSI Budi Ana Keliat, Peran Serta Keluarga Dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa, Buku Kedokteran, 1992 Antai Otong Deborah (1995). Psychiatric Nursing. Philadelphia : W.B. Company Gestrude K. Mc. Farland (1991). Psychiatric Mental Health Nursing. Philadelphia : J. B. Lippincot Company W.E., Maramis, Ilmu Kedokteran Jiwa, Airlangga Press, Surabaya, 1990 John Santrock, Psychology The Sciences of Mind and behavior, University of dallas, Brown Publiser , 1999 Hunsberg and Abderson (1989). Psychiatric Mental Health Nursing, Philadelphia : W.B. Saunders Company. Clinton and Nelson, Mental Health Nursing Practice, Prentice hall Australia, Pty Ltd. 1996 Stuart Sundeen, Pocket Guide to Psychiatric Nursing, Mosby year 1995 Stuart Sundeen, Psychiatric Nursing, Mosby year, 1995 Antai otong (1994) Psychiatric Nursing : Biological and Behavioral Concepts. Philadelpia: W B Saunders Company Lefley (1996). Family Caregiving in Mental Illness. London : SAGE Publication Maccoby, E, 1980, Social Development, Psychological Growth and the Parent Child Relationship, Harcourt Jovanovich, Newyork Stuart GW Sundeen, 1995, Principle and practice of Psychiatric Nursing, Mosby Year Book, St. Louis, , Hurlock, 1999, Psikologi Perkembangan, Erlangga, Jakarta (Oleh : Iyus Yosep)


    April 2024
    S S R K J S M
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    2930  

    Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan tentang tulisan baru melalui surat elektronik.

    Bergabung dengan 5 pelanggan lain